Utsman ibn Affan sahabat Nabi dari suku Quraisy keturunan Bani Umawi. Ia termasuk dalam kelompok enam, delapan, dan kelompok sepuluh. Kelompok enam meliputi para sahabat Nabi yang ditunjuk oleh Khalifah Umar ibn al-Khattab—ketika seorang zindiq menusuknya—untuk memilih khalifah penerusnya. Kelompok delapan meliputi kaum muslim yang paling awal memeluk Islam. Kelompok sepuluh adalah para sahabat yang mendapat jaminan surga dari Nabi saw. Ia adalah Khalifah Rasulullah yang ketiga setelah Umar ibn al-Khattab r.a.
Ayahnya bernama Affan ibn Abu al-Ash ibn Umayyah ibn Abdi Syams ibn Abdu Manaf. Ibunya bernama Urwa bint Kuraiz, dan Ibunda Urwa adalah al-Baydha bint Abdul Muthalib— kakek Nabi Muhammad saw
Utsman menikah dengan Ruqayah putri Rasulullah. Dari pernikahan itu mereka dikaruniai seorang putra bernama Abdullah ibn Utsman. Tapi, ketika masih kecil matanya dipatuk seekor ayam yang menyebabkan infeksi pada wajahnya hingga akhirnya ia wafat pada usia enam tahun. Pada masa Jahiliah, Utsman dipanggil dengan nama Abu Amr, dan setelah memeluk Islam ia dipanggil dengan nama Abu Abdullah—diambil dari nama putranya. Utsman r.a. masuk Islam melalui Abu Bakr. Ketika siksaan dan tekanan kaum Quraisy semakin keras kepada kaum muslim, Utsman r.a. dan istrinya Ruqayyah berhijrah ke Abisinia.
Di negeri itu kaum muslim dapat hidup tenang di bawah kepemimpinan Raja Najasi yang menghormati dan menghargai mereka. Ketika para Muhajirin Abisinia mendengar kabar bahwa kaum Quraisy telah memeluk Islam, mereka berbondong-bondong pulang ke Makkah. Namun, setibanya di Makkah mereka baru tahu bahwa kabar itu bohong belaka. Para pemimpin Makkah dan kaum Quraisy masih memegang teguh keyakinan Jahiliah. Sebagian Muhajirin itu memutuskan menetap di Makkah bersama keluarga mereka dan sebagian lainnya memilih keluar dari Makkah.
Setelah Nabi saw. berhijrah ke Madinah, para Muhajirin Abisinia segera menyusul beliau. Tiba di Madinah, mereka tidak bertemu dengan Rasulullah saw. karena beliau dan pasukan muslim sedang berperang di Khaibar. Mereka pun segera menyusul ke sana. Betapa bahagia Rasulullah saw. melihat kedatangan para Muhajirin itu sehingga beliau memasukan mereka dalam daftar orang yang menerima pampasan perang Khaibar.
Ketika tiba di Madinah, Siti Ruqayyah, putri Rasulullah saw. dan istri Utsman ibn Affan jatuh sakit. Ia sering menderita sakit sejak ditinggal wafat oleh ibundanya tercinta, Khadijah .r a. Karena itulah ketika berangkat menuju Badar, Rasulullah saw. memerintahkan Utsman agar tetap tinggal di rumah menemani istrinya. Karena sakitnya semakin parah, Siti Ruqayah wafat menghadap Sang Pencipta ketika Rasulullah saw. dan kaum muslim baru pulang dari Badar membawa kemenangan besar. Pada perang itu Rasulullah saw. sempat melepaskan panah atas nama Utsman sehingga ia mendapatkan pahala seperti orang yang ikut berperang.
Imam Muslim meriwayatkan sebuah hadis dari Muhammad ibn Miskin al-Yamami dari Yahya ibn Hassan dari Sulaiman ( putra Bilal ) dari Syuraik ibn Abu Namar dari Said ibn alMusayab dari Abu Musa al-Asy‘ari bahwa ia berwudu di rumahnya, kemudian keluar dan berkata, “Aku akan melayani Rasulullah saw., dan aku akan selalu berada bersama beliau hari ini.”
Kemudian ia berjalan menuju masjid dan bertanya kepada orang-orang di sana tentang Rasulullah saw., mereka menjawab, “Beliau keluar ke arah sana.”
Ia pun segera keluar mencari beliau. Di sana ia bertanya lagi sampai kemudian ia mendekati sumur Urais. Ia duduk di depan pintu sumur itu yang terbuat dari anyaman pelepah kurma hingga Rasulullah saw. menyelesaikan hajatnya dan berwudu. Kemudian ia bangkit, ternyata Rasulullah saw. sudah duduk di tepi sumur Urais, menyingkapkan kain, lalu membasuh betisnya. Kemudian Abu Musa mengucapkan salam dan kembali menunggu dekat pintu sumur. Saat itu ia berkata kepada dirinya, “Hari ini aku akan menjadi penjaga pintu Rasulullah.” Tak lama kemudian datang Abu Bakr mengetuk pintu.
Abu Musa bertanya, “Siapa itu ?” “Abu Bakr.”
“Tunggu sebentar!” kemudian Abu Musa pergi menghadap Rasulullah dan berkata, “Wahai Rasulullah, Abu Bakr mohon izin.”
Rasulullah saw. bersabda, “Izinkan dia dan gembirakan ia dengan surga!”
Lalu ia kembali kepada Abu Bakr dan berkata, “Masuklah! Rasulullah menggembirakanmu dengan surga.”
Rasulullah saw. juga memberinya kabar gembira bahwa ia adalah ahli surga. Abu Abdurrahman meriwayatkan bahwa ketika Utsman dikepung, ia mendekati para sahabat dan berkata, “Kuingatkan kalian kepada Allah. Bukankah kalian tahu bahwa Rasulullah saw. bersabda, ‘Barang siapa yang menggali sumur Raumah, baginya surga.’ Aku menggalinya. Dan bukankah kalian tahu bahwa beliau bersabda, ‘Barang siapa menyiapkan jays al-‘nsrah, baginya surga.’ Akulah yang menyiapkan pasukan itu.”
Para sahabat membenarkan apa yang dikatakannya.
Abu Musa r.a. berkata, “Aku berwudhu di rumah, kemudian keluar. Aku bilang, ‘Hari ini aku akan bersama Rasulullah saw.’ Karena itu, aku pergi ke masjid mencari beliau. Para sahabat bilang, ‘Rasulullah saw. pergi ke arah sana.’ Aku menyusulnya ke sumur Aris yang dihijabi anyaman pelepah kurma. Aku menunggu dekat pintu hingga Rasulullah saw. selesai buang hajat, kemudian duduk. Setelah itu, aku menemuinya dan mengucapkan salam.
Rasulullah saw. duduk di pinggir sumur, kemudian beliau menjulurkan kedua kakinya ke sumur sembari menyingkap kain yang menutupi betisnya. Aku kembali berdiri di ambang pintu. Aku bilang, ‘Aku akan menjadi penjaga pintu bagi Rasulullah saw.’ Tidak lama kemudian, seseorang mengetuk pintu. Aku tanyakan, ‘Siapa ?’ Ia menjawab, ‘Abu Bakar.’ Aku bilang, ‘Sebentar, kuberi tahu Rasulullah saw. dulu.’ Aku menemui Nabi dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, Abu Bakar datang meminta izin bertemu denganmu.’ Beliau bersabda,
‘Izinkan ia masuk, dan sampaikan kepadanya berita gembira bahwa ia akan masuk surga.’”
Aku segera keluar dan berkata kepada Abu Bakar, “Masuklah, dan Rasulullah memberimu kabar gembira sebagai ahli surga.” Abu Bakar masuk, dan duduk di samping kanan Rasulullah saw. Ia juga menjulurkan kaki ke dalam sumur dan menyingkap kain di betisnya seperti yang dilakukan oleh Rasulullah saw.
Aku kembali menjaga pintu. Seorang saudaraku menyusulku dan berkata, ‘Aku ke sini mengikutimu.’ Aku berkata kepadanya, ‘Jika Allah menghendaki kebaikan buat seseorang, Dia pasti memberikannya.’ Aku membiarkannya berwudhu di sana.
Aku mendengar seseorang mengetuk pintu dan aku bertanya, ‘Siapa?’ Ia menjawab, ‘Umar.’
‘Tunggu sebentar, aku akan memberi tahu Rasulullah saw.’
Aku menghadap Nabi dan melaporkan kedatangan Umar. Rasulullah saw. bersabda, ‘Izinkan ia masuk dan sampaikan kabar gembira bahwa ia ahli surga.’ Aku kembali lagi dan mengizinkan Umar, ‘Rasulullah saw. menyampaikan kabar gembira bahwa engkau ahli surga.’ Umar masuk dan duduk di samping kiri Rasulullah saw. Ia juga menyingkap kain di betisnya, lalu menjulurkan kaki ke dalam sumur, seperti yang dilakukan Rasulullah saw. dan Abu Bakar. Setelah itu, aku kembali. Aku berkata sendiri, ‘Jika Allah menghendaki kebaikan bagi seseorang, Dia pasti memberinya.’ Tidak lama kemudian seseorang menggerakkan pintu. Aku bertanya, ‘Siapa?’
Ia menjawab, ‘Utsman ibn Affan.’ ‘Sebentar, kusampaikan kepada Rasulullah saw.’
Aku menghadap Rasulullah saw. dan melaporkan, ‘Utsman datang meminta izin bertemu denganmu.’
Rasulullah saw. bersabda, ‘Izinkan ia masuk, dan sampaikan kabar gembira bahwa ia ahli surga karena musibah yang menimpanya.’
Aku kembali dan berkata, ‘Rasulullah saw. mengizinkanmu masuk. Ia juga menyampaikan kabar gembira bahwa engkau ahli surga karena musibah yang menimpamu.’
Utsman masuk sambil berkata, ‘Hanya kepada Allah kita meminta pertolongan.’
Ternyata, di bibir sumur sudah tidak ada tempat duduk lagi. Maka ia memilih duduk di hadapan mereka, di rekahan sumur. Ia juga menyingkap kain yang menutupi betisnya, lalu menjulurkan kedua kakinya ke dalam sumur, seperti yang diperbuat Rasulullah, Abu Bakar, dan Umar.
Berkenaan dengan hadis ini, Said ibn al-Masib berkata, “Aku menakwilkan peristiwa itu sebagai isyarat bahwa kuburan mereka berkumpul, kecuali kuburan Utsman. Musibah dimaksud yang akan menimpa Utsman adalah pengepungan, embargo air dan makanan, serta pembunuhan. Rekayasa ini direncanakan oleh kaum Yahudi, terutama para pengikut Abdullah ibn Saba, seorang Yahudi yang dikenal dengan sebutan Ibn alSawda. Setelah dibunuh, mereka melemparkannya begitu saja ke jalan selama beberapa hari. Tidak ada yang menyalatkan, apalagi mengurus jenazahnya. Tetapi akhirnya ia dimandikan, dishalatkan, dan dikuburkan di Hisy Kawka—sebuah kebun di jalan menuju pemakaman Baqi. Para pembunuh keji itu begitu hina. Kita sama sekali tidak menduga bahwa mereka akan berbuat sekeji itu. Bahkan, mereka membunuh Utsman yang saat itu sedang membaca Al-Quran. Salah seorang mereka mendekatinya, lalu menendang mushaf.”
Utsman ibn Affan dikenal sangat pemalu, sebagaimana dituturkan dalam hadis riwayat Imam Muslim dari Yahya ibn Yahya dari Yahya ibn Ayub, Qutaibah dan Ibn Hajar dari Ismail Unwan ibn Ja‘far dari Muhammad ibn Abu Harmalah dari Atha dan Sulaiman ibn Yasar serta Abu Salamah dari Aisyah .r a. yang menceritakan bahwa suatu hari Rasulullah saw. sedang berbaring di rumah. Saat itu kaki beliau tersingkap. Tiba-tiba Abu Bakar datang meminta izin untuk bertemu. Rasulullah saw. mengizinkannya, kemudian beliau berbincang-bincang dengan posisi tubuh tetap seperti itu. Selanjutnya, Umar datang, dan beliau tetap berbicara dalam keadaan seperti itu. Setelah itu, Utsman datang. Tiba-tiba Rasulullah saw. duduk dan membenarkan pakaiannya. Utsman masuk dan ikut berbincangbincang dengan mereka. Setelah keluar, Aisyah berkata kepada Rasulullah, “ Ketika Abu Bakar masuk, engkau tidak membenarkan pakaianmu. Setelah itu Umar masuk, tetapi engkau bergeming. Tetapi ketika Utsman masuk, engkau duduk dan membenarkan pakaianmu.”
Rasulullah saw. bersabda, “Tidakkah aku malu pada orang yang malaikat pun malu kepadanya?!”
Dalam riwayat lain dikisahkan bahwa suatu ketika Abu Bakr meminta izin untuk bertemu Rasulullah saw. yang sedang berbaring di atas kasur sambil mengenakan mirth (kain tak berjahit ) milik Aisyah. Abu Bakr diizinkan masuk, tetapi Rasulullah saw. tetap berbaring. Usai menyampaikan hajatnya, Abu Bakr pergi. Lalu Umar datang meminta izin. Ia diizinkan masuk dan Rasulullah saw. tetap dalam posisi semula. Setelah menyampaikan apa yang diinginkan, Umar pergi.
Utsman berkata, “Lalu aku datang meminta izin untuk bertemu beliau. Rasulullah saw. duduk dan bersabda kepada Aisyah, ‘Kumpulkan pakaianmu.’ Dan aku beranjak setelah menyampaikan urusanku.”
Aisyah r.a. berkata, “Wahai Rasulullah, engkau tidak beranjak dari posisimu ketika bertemu Abu Bakr dan Umar, namun engkau bangkit ketika bertemu Utsman.”
Rasulullah saw. bersabda, “Utsman itu pemalu. Jika ia kubiarkan masuk ketika aku dalam keadaan seperti itu, aku takut ia urung menyampaikan urusannya.
Diriwayatkan dari Anas ibn Malik bahwa Rasulullah saw. Bersabda, “Umatku yang paling pengasih adalah Abu Bakar; yang paling keras membela agama Allah adalah Umar; yang paling pemalu adalah Utsman; yang paling mengetahui tentang halal haram adalah Muaz ibn Jabal; yang paling menguasai Kitabullah adalah Ubay; dan yang paling memahami faraid adalah Zaid ibn Tsabit. Setiap uniat memiliki seorang bendahara, dan bendahara umat ini adalah Abu Ubaidah ibn alJarrah.”
Rasa malu adalah bagian dari iman. Karenanya, kita dapat mengukur, betapa besar keimanan Utsman ibn Affan. Sosoknya menjadi teladan bagi semua orang, terutama dalam hal kedermawanan dan kebajikannya. Dengan kekayaannya, Utsman ibn Affan sering menyediakan perbekalan bagi pasukan yang hendak berperang. Ia pernah menyerahkan emas dalam jumlah besar kepada Rasulullah saw. (untuk membiayai jihad ). Karena itulah Rasulullah saw. mendoakan kebaikan untuknya, “ Ya Allah, ridai Utsman! Aku telah rida kepadanya.”
Salah satu bukti kedermawanannya adalah ketika ia membeli sumur Rimah dan menghadiahkannya kepada kaum muslim.
Sumur itu pada awalnya milik seorang Yahudi. Letaknya sangat strategis, berada di lintasan yang banyak dilalui kaum muslim. Mereka sangat membutuhkan air dari sumur itu, tetapi Yahudi itu menjual airnya dengan harga yang mahal. Utsman ingin membelinya, tetapi Yahudi itu tidak mau menjualnya. Karena itu, Utsman berkata, “Jual saja separuhnya kepadaku! Sehari untukku dan sehari lagi untukmu!” Orang Yahudi itu pun menyetujuinya. Sejak itu Utsman memberi minum kepada kaum muslim secara cuma-cuma satu hari dan di hari berikutnya sumur itu menjadi milik orang Yahudi. Karena kaum muslim mengambil air dari sumur itu hanya pada hari-hari milik Utsman, orang Yahudi itu tidak mendapat pemasukan. Akhirnya, ia menawarkan seluruh sumur itu kepada Utsman dengan harga yang lebih murah. Kemudian Utsman menyedekahkannya sumur itu untuk keperluan kaum muslim. Namun, kelak ketika terjadi fitnah yang merenggut nyawa Utsman, para pemberontak berbuat keji dengan menutup aliran air dari sumur itu ke rumahnya. Mereka benar-benar telah berbuat aniaya.
Pada masa Khalifah Abu Bakr r.a. kaum muslim mengalami paceklik dan kekeringan. Saat itu, penduduk di Madinah mendengar kabar bahwa satu kafilah dagang dari Syam telah tiba dengan seribu ekor unta membawa gandum dan aneka bahan makanan lain. Ternyata, kafilah dagang itu milik Utsman ibn Affan. Para pedagang Madinah segera mengerubuti kafilah itu untuk membeli berbagai barang kebutuhan dengan harga yang tinggi.
Utsman berkata, “Tawarlah dengan harga yang lebih tinggi!” Maka, mereka pun menaikkan harganya menjadi dua kali lipat.
“Tidak mau! Beri aku harga yang lebih tinggi lagi!” Mereka pun menaikkan tawaran menjadi tiga kali lipat. “Tidak mau! Beri aku harga yang lebih dari itu.” Mereka bermusyawarah dan akhirnya menawarkan harga lima kali lipat. Namun, Utsman tetap menolaknya dan berkata, “Tidak! Beri aku harga yang lebih dari itu.”
Mereka menjawab, “Kami para pedagang Madinah, tak seorang pun yang mampu membayarmu dengan harga lebih dari yang telah kami tawarkan.”
Utsman r.a. berkata, “Ketahuilah, Allah telah memberiku untuk setiap dirham sepuluh kali lipat keuntungan. Adakah di antara kalian yang sanggup memberi lebih ?”
Mereka menjawab, “Kami tak sanggup.”
“Kalau begitu, harta ini semuanya kusedekahkan karena Allah.” Kemudian ia membagikan harta dagangannya itu kepada orang-orang yang tidak mampu. Pada saat itu, semua orang fakir di Madinah mendapatkan bagian yang membuat mereka hidup cukup. Itulah salah satu contoh kebajikan dan kedermawanan Utsman ibn Affan.
Anas ibn Malik r.a. memiliki cerita yang berbeda tentang keutamaan Utsman. Ia mengatakan bahwa suatu ketika Rasulullah saw. memerintah para sahabat untuk melakukan Baiat Ridwan, namun saat itu Utsman ibn Affan sedang diutus oleh Rasulullah untuk menemui penduduk Makkah. Kemudian orang-orang yang ada di sana berbaiat, dan usai mereka berbaiat, Rasulullah saw. bersabda, “Utsman sedang melakukan apa yang dikehendaki oleh Allah dan Rasul-Nya.” Setelah itu, beliau menepukkan tangan yang satu di atas tangan yang lain. Jadi, tangan Rasulullah saw. yang menggantikan tangan Utsman lebih baik baginya daripada tangan mereka untuk mereka sendiri.
Ketika Utsman r.a. dilanda kesedihan karena ditinggalkan Ruqayyah yang telah menghadap Allah, selama beberapa waktu ia hidup seorang diri tanpa seorang pun istri untuk berbagi. Namun keadaan itu tidak berlangsung lama. Kuasa langit tak mau membiarkannya dirundung kesedihan dan kesendirian.
Abu Hurairah r.a. menceritakan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Jibril telah datang kepadaku dan berkata, ‘Allah memerintahkan kepadamu untuk menikahkan Utsman kepada Ummi Kultsum atas mas kawin yang sama dengan Ruqayyah dan atas mas kawin yang sama (pula ) dengan sahabatnya.” Hadis ini membuktikan bahwa Utsman mendapat pertolongan Allah, dan tak ada kemuliaan tertinggi selain mendapat pertolongan-Nya.
Karena menikahi dua putri Nabi saw., Ruqayyah r.a. dan Ummu Kultsum r.a., Utsman ibn Affan mendapat gelar ‘Dzunnurain’ atau pemilik dua cahaya. Namun, kesedihan kembali meliputi Utsman ibn Affan r.a. karena Ummu Kultsum pun tak berumur panjang. Ia tak dapat hidup mendampingi suaminya untuk waktu yang lama. Ia menyusul saudarinya Ruqayyah menghadap Sang Maha Pencipta.
Ketika kaum muslim selesai memakamkan Ummu Kultsum, Rasulullah saw. melihat wajah Utsman dirundung duka. Beliau mendekatinya dan bersabda, “Wahai Utsman, seandainya aku
punya putri ketiga, pasti akan kunikahkan kepadamu.” Sungguh besar rasa cinta Rasulullah saw. kepada Utsman ibn Affan.
Muhammad ibn Basyar menuturkan riwayat dari Yahya dari Said dari Qatadah dari Anas ibn Malik bahwa suatu ketika Nabi saw. berada di atas bukit Uhud bersama Abu Bakr, Umar, dan Utsman. Tiba-tiba bukit itu berguncang. Rasulullah saw. bersabda, “Tenangkah, wahai Uhud! Di atasmu ada seorang nabi, seorang sahabat, dan dua orang syahid.
Imam Tirmidzi menuturkan riwayat dari Thalhah ibn Ubaidillah bahwa Rasulullah saw. bersabda, “ Bagi tiap-tiap nabi itu ada seorang pendamping dan pendampingku (di surga ) adalah Utsman.”
Diriwayatkan dari Anas ibn Malik bahwa ketika Rasulullah saw. hendak membuat Perjanjian Hudaibiyah dengan pemimpin Makkah, beliau memilih Utsman ibn Affan sebagai utusan kepada penduduk Makkah. Utsman datang untuk menyampaikan pesan bahwa kaum muslim datang bukan untuk berperang, melainkan untuk ziarah haji. Utsman punya banyak kerabat dan keluarga yang termasuk tokoh penting dan pemimpin Makkah. Ia juga masih bersaudara dengan pemimpin utama Makkah, Abu Sufyan.
Kabar tentang kepergian Utsman terputus. Kaum muslim tidak dapat mengetahui perkembangan yang terjadi di Makkah. Beredar kabar bahwa Utsman ibn Affan dibunuh di Makkah. Kaum muslim geger. Meskipun datang tanpa senjata, mereka takkan mundur meski selangkah. Mereka akan bertempur matimatian membela Rasulullah jika perang tak terhindarkan. Rasul segera mengirim utusan ke Madinah meminta kaum muslim di sana untuk segera berangkat ke Makkah bersama para sekutu Madinah lengkap dengan persenjataan, hewan tunggangan, dan perangkat perang lain. Setelah itu Muhammad berdiri di bawah sebuah pohon, lalu meminta kepada para pengikutnya mengucapkan janji setia ( baiat). Semua orang yang hadir di sana mengucapkan sumpah setia di bawah pohon untuk bertempur di sisi Rasulullah hingga titik darah penghabisan. Rasulullah pun mengangkat tangan sebagai tanda baiat mewakili Utsman.
Namun tidak lama kemudian, Utsman kembali menemui rombongan kaum muslim dalam keadaan hidup dan selamat, tak kurang suatu apa pun. Rasulullah menyambutnya gembira. Begitu juga seluruh kaum muslim. Utsman berhasil meyakinkan para pemuka Quraisy, yang sebagian besar di antaranya merupakan para sahabatnya di masa lalu, juga para sodagar besar Makkah bahwa perdamaian merupakan jalan terbaik bagi kedua pihak. Kaum Quraisy tidak berhak menghalangi para Muhajirin yang berasal dari Makkah untuk kembali mengunjungi tanah kelahiran. Quraisy tidak berhak menghalangi mereka yang ingin melihat kembali tanah tempat mereka dilahirkan dan tempat tulang belulang leluhur mereka dikuburkan. Quraisy juga tidak berhak menghalangi kaum muslim untuk melaksanakan ibadah haji ke Rumah Tua, sementara bangsabangsa Arab lainnya dapat melaksanakan ibadah itu dengan bebas.
Mengenai pembaiatan Utsman ibn Affan sebagai khalifah setelah Umar ibn al-Khattab, disebutkan bahwa sebelum meninggal, Umar menunjuk enam anggota dewan syura untuk memusyawarahkan pemilihan khalifah sepeninggalnya. la berwasiat agar khalifah setelahnya dipilih dari enam calon tersebut. Mereka adalah Utsman ibn Affan, Ali ibn Abi Thalib, Abdurrahman ibn Auf, Sa‘d ibn Abi Waqqash, Zubair ibn alAwwam, dan Thalhah ibn Ubaidillah. Mereka diminta berkumpul di sebuah rumah dipandu oleh Abdullah ibn Umar yang tidak termasuk anggota dewan. Mereka bermusyawarah 882 [ Muhammad Raji Hassan Kunnasdi sana selama tiga hari dan selama waktu itu Suhaib diminta untuk memimpin shalat kaum muslimin. Abu Thalhah al-Anshari dan al-Miqdad, yang termasuk panitia pemilihan, mengumpulkan keenam orang itu dan memandu jalannya musyawarah. Setelah mereka berkumpul Abdurrahman ibn Auf berkata, “ Pilihlah tiga orang di antara kalian.”
Zubair berkata, “Aku memilih Ali.” Thalhah berkata, “Aku memilih Utsman.” Sa‘d berkata, “Aku memilih Abdurrahman ibn Auf.”
Abdurrahman ibn Auf berkata kepada Ali dan Utsman, “Aku akan memilih salah seorang di antara kalian yang sanggup memikul tanggung jawab ini. Jadi, sampaikanlah pendapat kalian mengenai hal ini.”
Karena keduanya tak memberikan jawaban, Abdurrahman ibn Auf berkata, “Apa kalian hendak memikulkan tanggung jawab ini kepadaku ? Bukankah yang paling berhak memikulnya adalah yang terbaik di antara kalian ?” Mereka berdua berkata, “ Benar.”
bn Auf berpaling kepada para sahabat yang hadir meminta pandangan mereka. Kemudian ia berkata kepada Ali, “Jika kau tidak mau kubaiat, sampaikan pandanganmu.” Ali berkata, “Aku memilih Utsman ibn Affan.”
Lalu Ibn Auf berpaling kepada Utsman dan berkata, “Jika kau tidak mau kubaiat, sampaikan pandanganmu.” Utsman berkata, “Aku memilih Ali ibn Abi Thalib.”
Musyawarah tidak mencapai kata sepakat karena dua sahabat terpilih sama-sama tidak mau mengajukan dirinya untuk dibaiat. Selama masa penetapan itu Abdurrahman ibn Auf berkeliling meminta pendapat para sahabat terkemuka, para pemimpin pasukan, para pendatang di Madinah, termasuk juga kepada kaum wanita, anak-anak, dan para budak. Ternyata kebanyakan memilih Utsman. Pada malam Rabu—malam terakhir dari waktu yang ditentukan—Abdurrahman ibn Auf pergi ke rumah keponakannya, al-Miswar ibn Makhramah. Ia mengetuk pintu, namun tidak ada jawaban karena al-Miswar telah terlelap tidur. Ibn Auf mengetuk pintu lebih keras membangunkan al-Miswar. Ibn Auf berkata berkata, “Mengapa kau begitu lelap tidur? Aku minta agar malam ini engkau tidak terlalu lama tidur. Panggilkan Zubair dan Sa‘d.”
Al-Miswar segera beranjak memanggil keduanya. Ketiga sahabat terkemuka itu berkumpul dan bermusyawarah. Usai bermusyawarah Abdurrahman menyuruh al-Miswar untuk memanggil Ali. Ali segera datang dan berbicara dengan Ibn Auf sampai tengah malam. Setelah Ali pergi, al-Miswar diminta memanggil Utsman, yang segera datang dan berbicara sampai azan Subuh berkumandang.
Pagi itu, Rabu terakhir bulan Zulhijjah 23 H., kaum muslimin berjamaah di Masjid Nabi dipimpin oleh Suhaib. Enam anggota dewan syura telah berkumpul semua, begitu pula wakil kaum Muhajirin, Anshar, dan para pemimpin pasukan. Usai berjamaah dan semua orang telah duduk tenang, Abdurrahman ibn Auf mengucapkan syahadat dan berkata, “ Amma bad. Wahai Ali, aku telah berkeliling menghimpun pendapat berbagai kalangan dan ternyata mereka memilih Utsman. Aku berharap engkau menerima ketetapan ini”
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Abdurrahman ibn Auf berkata kepada Ali sambil memegang tangannya, “Engkau punya hubungan kerabat dengan Rasulullah saw. Dan sebagaimana diketahui, engkau lebih dulu masuk Islam. Demi Allah, jika aku memilihmu, engkau mesti berbuat adil. Dan jika aku memilih Utsman, engkau mesti patuh dan taat.” Kemudian Ibn Auf menyampaikan hal yang sama kepada lima sahabat lainnya.
Setelah itu ia berkata kepada Utsman, “Aku membaiatmu atas nama sunnah Allah dan Rasul-Nya, juga dua khalifah sesudahnya.” Utsman berkata, “Baiklah.”
Abdurrahman langsung membaiatnya399 saat itu juga diikuti oleh para sahabat dan kaum muslimin. Orang kedua yang membaiat Utsman adalah Ali ibn Abi Thalib. Dengan demikian, kaum muslimin bersepakat menerima Utsman sebagai khalifah setelah Umar ibn al-Khaththab.
Harits ibn Mudhrab berkata, “Aku berhaji pada masa Umar. Kaum muslimin saat itu tidak merasa ragu bahwa khalifah berikutnya adalah Utsman.
Kisah tentang Utsman ibn Affan adalah kisah yang panjang. Dialah khalifah yang menghimpun Al-Quran dalam satu mushaf. Ia juga sering berderma memberi siapa pun yang membutuhkan dengan pemberian yang tak terhingga. Ia juga yang memberi tunjangan kepada istri-istri Nabi saw. dan membangun serta memperluas Masjidil Haram dan Masjid Nabawi.
Utsman ibn Affan adalah orang yang rajin berpuasa dan mendirikan shalat, malam-malamnya tak pernah sepi dari bertasbih, tahajud, dan membaca Al-Quran. Namun, para pemberontak itu membunuhnya sehingga darahnya mengenai kitab Allah yang sedang dibacanya. Adakah yang lebih layak menjadi saksi selain Al-Quran ?!
Semoga Allah merahmatinya.