RIWAYAT HIDUP
Khawajah Nasir al-Din abu Ja’far Muhammad ibn Muhammad ibn Hasa, seorang sarjana yang mahir, ahli matematika, astronomi, dan politisi Syi’ah pada masa penyerangan bangsa Mongol atas Para Pembunuh dan Khalifah, lahir di Tus pada tahun 597 H/1201 M. Seteleha menerima pendidikan dasar dari ayahnya dan Muhammad b. Hasan, dia mempelajari Fiqh, Ushul, Hikmah dan Kalam, terutama Isyarat-nya Ibn Sina, dari Mahdar Farid al-Din Damad, dan matematika dari Muhammad Hasib, di Nishapur. Dia kemudian pergi ke Baghdad, di sana dia mempelajari ilmu pengobatan dan filsafat dari Qutb al-Din, matematika dari Kamal al-Din ibn Yunus dan Fiqh serta Ushul dari Salim ibn Badran.
Tusi memulai karirnya sebagai ahli astronomi pada Nasir al-Din ‘abd al-Rahim, Gubernur dari benteng gunung. Isma’illiah Quhistan selama masa pemerintahan ‘Ala al-Din Muhammad (618 – 652 H/1221 -1255 M), Syekah Agung (Khudawand) ke tujuh dari Alamut. “Hubungan surat-menyurat”-nya dengan wazir Khalifah Abbasiah terakhir, al-Musta’sim (640 – 656 H/1242 – 1258 M) di Baghdad, dihentikan oleh atasan-atasannya, dan dia dipindahkan ke Alamut di bawah pengawasan ketat, meski di sana dia menikmati segala kemudahan untuk menlanjutkan pelajarannya. Pada tahun 654 H/1256 M, dia “menyerahkan” penguasa Pembunuh terakhir Rukn al_din Khurshah ke tangan Hulagu dan kemudian menjadi teman Hulagu sebagai penasihat terpercaya sampai ditaklukkannya Baghdad pada tahun 657 H.1258 M.
OBSERVATORIUM MARAGHAH
Alasan utama yang membuat Tusi mencapai kemasyhuran adalah keberhasilannya membujuk Hulagu untuk mendirikan observatorium yang terkenal itu (rasad khanah) di Maraghah, Azarbaijah, pada tahun 657 H/1259 M, yang dilengkapi dengan alat-alat paling baik.” Sebagian diantaranya baru diciptakan untuk pertama kalinya.”
Di sini dia menyusun tabel-tabel astronominya, yang disebut Zij al-Ikhani, yang “menjadi terkenal ke seluruh Asia, bahkan sampai ke Cina.” Di samping bisa digunakan bagi keberadaan ilmu astronomi dan matematika pada akhir abad ke-7 H/ke-12 M, observatorium ini juga penting dalam tiga hal lainnya. Ia merupakan observatorium pertama yang banyak dikunjungi, sehingga dengan begitu ia membuka pintu bagi komersialisasi observatorium di masa mendatang.
Kedua, sebagaimana ibn Tufail (meninggal tahun 581 H/1185 M) yang membuat Pemerintahan Khalifah ‘Abd al-Mu’min menjadi galaksi bintang intelektual cemerlang yang mendorong perkembangan pengetahuan dan kebijaksanaan di Barat, Tusi membuat observatorium Maraghah menjadi suatu “majlis hebat” yang terdiri atas orang-orang pandai dan terpelajardengan jalan membuat “rencana khusus” untuk pengajaran ilmu-ilmu filsfat, di samping matematika dan astronomi, dan juga dengan jalan menyisihkan uang sokongan itu untuk beasiswa.
Ketiga, observatorium itu dihubungkan dengan sebuah perpustakaan besar tempat disimpannya khazanah pengetahuan yang tak terusakkan, yang dirampas oleh bangsa Mongol dan Tartar ketika mereka menaklukkan Irak, baghdad, Syria dan daerah-daerah lain. Menurut ibn Syakir, perpustakaan itu berisi lebih dari empat ratus ribu jilid buku.
Tusi tetap berpengaruh di bawah Abaga, pengganti hulagu, tanpa mendapat rintangan sampai dia meninggal pada tahun 672 H/1274 M.
KARYA-KARYANYA
Pada masa penghancuran politik besar-besaran, yang diikuti kemunduran intelektual, perlindungan Hulagu atas Tusi merupakan peristiwa sangat penting dalam sejarah pemikiran Muslim. Kebangkitan kembali dan berkembangnya ilmu-ilmu filsafat di akhir abag ke-7 H/ke-13 M berpusat di sekitar pribadi Tusi. Bagi orang-orang Persi, dia dikenal sebagai “guru manusia” (Ustadz al-basyar). Bar-Hebraeus menganggapnya sebgai “orang yang berpengathuan luas di semua cabang filsfat.” Bagi Ivanow dia bagaikan “Kamus hidup.” Dan Afnan menganggapnya sebagai “Juru ulas . . . . yang paling mahir dalam mengulas karya-karya ibn Sina di Persia. Pun orang mau tak mau akan terkesan oleh “kerajinan yang menakjubkan” yang diperlihatkannya dalam “menyunting dan mengembangkan” terjemahan yang dibuat oleh Tsabit bin Qurrah, Qusta bin Luqa dan Ishaq bin Hunain atas karya-karya ahli matematika dan astronomi dari Yunani. Brockelman telah mengumpulkan lima puluh sembilan dari karya-karyanya yang masih ada. Tapi Ivanow mengatakan bahwa ada “sekitar seratis lima puluh karya” yang telah ditulis olehnya. Daftar yang diberikan oleh Mudarris Ridwi berkisar antara seratus tiga puluh judul, tidak termasuk dua puluh satu judul lainnya yang diragukan apakah memang benar karya itu ditulis oleh Tusi.
Tusi lebih pantas disebut sebagai sarjana yang mahir daripada seorang ahli pikir yang kreatif, dan kedudukannya terutama sebagai seorang panganjur gerakan kebangkitan kembali, sementara karya-karyanya kebanyak bersifat eklektis (bersifat memilih dari ebrbagai sumber). Tapi meski dia seorang pengajur gerakan kebangkitan kembali dan seorang eklektis, dia tetap meiliki keaslian, terutama dalam menyajikan bahan tulisannya. Kepandaiannya yang beragam sungguh mengagumkan. Minatnya yang banyak dan berjenis-jenis mencakup filsafat, matematika, astronomi, fisika, ilmu pengobatan, mineralogi. Musik, sejarah, kesusastraan dan dogmatik. Karya-karya penting filsafatnya sebagai berikut :
- Asa al-Iqtibas (logika). 1947
- Mantiq al-Tajrid (logika).
- Ta’dil al-Mi’yar (logika).
- Tajrid al-‘Aqa’id (dogmatik), Teheran, 1926.
- Qawa’id-‘Aqa’id (dogmatik), Teheran, 1926.
- Risaleh-i I'tiqadat (dogmatik).
- Akhlaq-i Nasiri (Etika).
- Ausaf al-Asyraf (Etika Sufi).
- Risaleh dar Ithbat-i Wajib (metafisik).
- Isbat-i Jauhar al-Mafariq (metafisik).
- Risaleh dar Wujud-i Jauhar-i Mujarrad (metafisik).
- Risaleh dar Itsbat-i ‘Aql-i Fa’a (metafisik).
- Risaleh Darurat-i Marg (metafisik).
- Risaleh Sudur Kathrat az Wahdat (metafisik).
- Risaleh ‘Ilal wa Ma’lulat (metafisik).
- Fushul (metafisik) Teheran, 1956.
- Tashawwurat (metafisik), Bombay, 1950.
- Talkhis al-Muhasal, Kairo, 1323/1905.
- Hall-i Musykilat al-Isharat, Lucknow, 1293/1876.
AKHLAQ-I NASIRI
Tidak ada yang menyeleweng lebih jauh dari kebenaran selain penegasan bahwa Akhlaq-i Masiri yang ditulis oleh Tusi semata-mata merupakan “terjemahan” dari karya ibn ‘Miskawaih Tahdzib al-Akhlaq. Sang pengarang, tak diragukan lagi, diberi tugas oleh Nasir al-Din ‘Abd al-Rahim, Gubernur Isma’illiah dari Quhistan, untuk menertejemahkan Kitab al-Thaharat (Tahdzib al-Akhlaq) dari bahasa Arab ke dalam bahasa Parsi, tapi dia tidak mau menerima tugas itu karena takut akan “mengubah dan menodai karya aslinya.” Di samping itu, karya Miskawaih terbatas pada penggambaran disiplin moral; disiplin yang menyangkut urusan rumah tangga dan politik menurut Tusi, tidak terdapat dalam karya tersebut. Padahal hal ini merupakan aspek-aspek yang sangat penting dari “filsafat praktis” dan karena itu tidak boleh diabaikan. Dengan mengingat ini, Tusi menyusun Akhlaq-i Nasiri berdasarkan pola berikut :
Mengenai isinya, bagian mengenai filsafat moral merupakan suatu “ringkasan” dan bukan suatu terjemahan dari Kitab al-Thaharat, tapi bentuknya, pengaturan pokok pembicaraannya serta klasisikasi masalahnya merupakan karya Tusi sendiri, yang dengan jelas memberikan kesan- keasliannya.
Mengenai filsafat rumah tangga dan politik, Tusi berutang banya kepada ibn Sina dan al-Farabi, sekali pun begitu tambahan dua bagian ini menyempurnakan filsafat praktis (hikmat-i ‘amali) dalam segala detailnya, dan ini menguatkan penegasan Tusi bahwa karya Akhlaq-i Nasiri ditulis “bukan dengan gaya tiruan atau terjemahan, tapi benar-benar merupakan suatu upaya.”
ETIKA
Mengikuti pendapat ibn Miskawaih, Tusi menganggap bahwa kebahagiaan utama (sa’adat-i quswa) adalah tujuan moral utama, yang ditentukan oleh tempat dan kedudukan manusia di dalam evolusi kosmik dan diwujudkan lewar kesediaannya untuk berdisiplin dan patuh. Konsep kebahagiaan utama itu pada hakikatnya berbeda dengan gagasan Aristoteles mengenai kebahagiaan yang hampa akan “unsur-unsur angkasa” dan juga tidak menunjuk kepada kedudukan kosmik manusia.
Kebaikan-kebaikan Plato menyangkal kebijaksanaan, keberanian, kesederhanaan dan keadilan (yang berasal dari trinitas jiwa yakni akal, kemarahan dan hasrat) dan keterbedaan mereka menjadi tujuh, sebelas, duabelas dan sembilan belas spesies, yang diberikan oleh ibn Miskawaih, tampak menonjol sekali dalam etika Tusi; bedanya hanyalah bahwa dia mengurangi sembilan belas spesies menjadi dua belas. Tapi dengan mengikuti pembedaan yang dibuat oleh Aristoteles pada jiwa akal teoritis, akal praktis, kemarahan dan hasrat, dan tidak seperti ibn Miskawaih, Tusi mengambil kesimpulan yang adil dari kebudayaan akal praktis tanpa menyangkal pandangan Plato mengenai fungsi yang tepat dan selaras dari tiga kekuatan jiwa itu. Tidak seperti Aristoteles, tapi seperti ibn Miskawaih, dia menempatkan kebajikan (tafadhdhul) di atas keadilan, dan cinta (mahabbah) sebagai sumber alami kesatuan, di atas kebajikan.
Aristoteles memandang kejahatan sebagai suatu kebaikan yang berlebihan, baik eksesnya maupun kerusakannya. Bagi Gelen, kejahatan merupakan suatu penyakit jiwa. Al-Quran, setelah mengungkapkan prinisp-prinsip etika umum dari sikap yang tak berlebihan, menyatakan bahwa kejahatan merupakan penyakit hati. Ibn Miskawaih, setelah menyebutkan satu demi satu delapan kejahatan umum, yaitu kelihaian dan kebodohan (safah dan balahat), gegabah dan pengecut (tahawwur) dan jubun), pemanjaan dan pematangan (syarrahat dan khumud), kelaliman dan penderitaan (jaur dan mahana), berdasarkan pola Aristoteles, menggambarkan secara panjang lebar sebab-sebab dan cara-cara menghilangkan rasa takut dan sedih. Ibn Miskawaih tidak menjelaskan apakah rasa takut dan sedih itu membentuk keberlebihan atau keberkurangan kemarahan dan hasrat. Masalah ini ditangani oleh Tusi, dan dia menemukan pemecahannya, karena kepintarannya. Penyakit merupakan penyimpakangan jiwadari keseimbangan (i’tidal). Aristoteles, dan juga Miskawaih, memandang penyimpangan ini dari segi jumlah (kammiyat) dan karena itu keberlebihan (ifrat) dan keberkurangan (tafrit) suatu keadaan, yang bagi mereka hanyalah dua sebab penyakit moral. Tusi untuk pertam kalinya berpendapat bahwa penyimpangan bukan hanya dari segi jumlah tapi juga dari segi mutu, dan untuk penyimpangan janis baru ini dia menamakannya perbuatan yang tak wajar (rada’at). Dengan begitu, maka penyakit moral itu bisa disebabkan oleh salah satu dari sebab ini : (1) keberlebihan; (2) kekurangan; atau (3) ketakwajaran akal, kemarahan atau hasrat.
Dengan menggunakan teori tiga sebab-akibat penyakit jiwa itu, Tusi menggolong-golongkan penyakit-penyakit fatal akal teoritis menjadi kebingungan (hairat), kebodohan sederhana (jahl-i basit) dan kebodohan fatal (jahl-i murakkab), yang membentuk keberlebihan, keberkurangan, dan ketakwajaran – suatu penggolongan yang bukan berasal dari ibn Miskawaih.
Kebingungan disebabkan oleh ketidak mampuan jiwa untuk membedakan antara kebenran dan kesalahan dikarenakan oleh adanya bukti yang saling bertentangan dan argumentasi yang kacau, untuk dan terhadap suatu masalah yang kontroversial. Untuk menghilangkan kebingungan, Tusi menyarankan agar orang yang bingung mestinya, pertama-tama, disadarkan bahwa keterdirian dan pembagian, penegasan dan penyangkalan, yaitu yang bertentangan, bersifat eksklusif, tidak dapat bermaujud dalam satu benda pada waktu yang sama, sehingga dia mungkin bisa teryakinkan bahwa jika suatu hal benar, ia tidak mungkin salah, dan jika ia salah, ia tidak mungkin benar. Setelah dia memahami prinsip bukti-diri ini, dia bisa diberi pelajaran mengenai aturan-aturan silogisme untuk memudahkan penemuan kekeliruan dalam argumentasi.
Kebodohan sederhana terdapat pada kekurangtahuan manusia akan suatu hal tanpa mengira bahwa dia mengetahuinya. Kebodohan semacam itu, merupakan suatu keadaan yang bisa dijadikan titik tolak untuk mencari pengetahuan, tapi sangatlah fatal kalau merasa puas dengan keadaan begitu.
Penyakit itu bisa disembuhkan dengan jalan menunjukkan kepada si pasien fakta bahwa pengakalanlah, dan bukan penampilan lahiriah, yang membuat manusia berhak disebut sebagai manusia, dan bahwa manusia yang bodoh itu tidak lebih baik dibandingkan binatang, bahkan lebih buruk dan itu, sebab binatang masih bisa dimaklumi karena ia tak memiliki nalar.
Kebodohan fatal adalah kekurangtahuan manusia akan sesuatu hal dan dia merasa mengetahui hal itu. Walau dia bodoh, dia tidak tahu bahwa dia memang bodoh. Menurut menurut Tusi, penyakit ini adalah penyakit yang hampir tak dapat disembuhkan, tepi dengan upaya keras dalam bidang matematika barangkali penyakit ini bisa ditekan kefatalannya menjadi kebodohan sederhana.
Tusi menganggap kemarahan (ghadhab), kepengecutan (jubun) dan ketakutan (khauf) sebagai tiga penyakit kemarahan yang menonjol (quwwat-i difa’) dan dari segi keberlebihan, keberkurangan dan ketakwajaran. Dalam analisanya mengenai ketakutan, terutama ketakutan akan kematian, dan dalam penjelasannya yang tericni, mengenai tujuh kesesuaian serta sepuluh sebab kemarahan, dia mengikuti pendapat ibn Miskawaih.
Begitu pula, keberlebihna nafsu (ifrat-i syahwat) disebabkan oleh keberlebihan hasrat, sedang sikpa sembrono ( batalat) merupakan akibat dari kekurangan, dan kesedihan (huzan) serta cemburu (hasad) merupakan ketakwajaran kekuatan ini. Dia mendefinisikan cemburu sebagai keinginan akan kebaikan dari nasib baik orang lain, tanpa keinginan memiliki nasib baik itu . mengikuti pendapat Ghazali, dia juga membedakan antara iri (ghibtat) dan cemburu, dengan jalan mendefinisikan iri sebagai keinginan akan nasib baik orang lain, tanpa menghendaki hilangnya nasib baik orang lain itu. Cemburu menelan kebaikan sebagaimana api menelan bahan bakar, sedangkan iri itu patutu dipuji jika perasaan tersebut diarahkan untuk mendapatkan kabikan, dan patutu diberi hukuman jika diarahkan untuk mendapatkan pemuasan syahwat dan kesenangan-kesenangan duniawi.
Tusi mnenganggap sebagai latar belakang normal dan kehidupan moral, sebab manusia pada dasarnya merupakan makhluk sosial, dan kesempurnaannya terletak pada tindak-tanduknya yang menunjukkan sifat sosial kepada sesamanya. Cinta dan persahabatan, karena itu merupakan prinisp-prinsip yang penting dari teori moralnya – suatu teori yang dengan jelas tidak mengandung kehidupan kepertapaan. Dalam karyanya yang berikut, Aushaf al-asyraf, Tusi menulis bahwa kehidupan kepertapaan merupakan suatu tahap dari kehidupan mistis. Dia mengemukakan bahwa upa penulisannya itu semata-mata merupakan penghargaan intelektual serta perumusan rasional tradisi tasawuf. Meski bukan seorang sufi, dia mendorong agar tasawuf dibahas secara rasional. Dia menggolongkannya menjadi enam tahap, dan setiap tahap, kecuali yang terakhir, memiliki enam pernyataan sendiri.
Tahap pertama yaitu tahap persiapan untuk perjalanan mistis (suluk), yang mensyaratkan keyakinan kepada Tuhan (Iman), senantiasa dalam keyakinan itu (tsabat), keteguhan kemauan (niyyat), kejujuran (shidq), perenungan akan Tuhan (anabat) dan ketulusan hati (khulus).
Tahap kedua terdiri atas penolakan terhadap hubungan-hubungan duniawi yang menghalang-halangi jalan mistis itu. Ada enam pokok penting dalam tahap ini, yaitu menyesali dosa (taubat), menghindari dari berkehendak (zuhud), tidak bernafsu terhadap harta (faqr), keras terhadap hasrat dan rasional (riyadhat), menghitung-hitung kebaikan dan kejahatan (muharabat), keselarasan antara tindakan dan niat (murraqabat), dan kesalehan (taqwa).
Tahap ketiga perjalanan mistis ini ditandai dengan penyendirian (khalwat), perenungan (tafakur), ketakutan dan kesedihan (khauf dan huzn), ketabahan (shabar), dan kebersyukuran kepada Tuhan (Syukr).
Tahap keempat mencakup pengalaman san pejalan (salik) sebelum dia mencapai tujuannya, yaitu bakti kepada Tuhan (iradat), keamatinginan untuk berbakti (syauq), pengetahuan , dan ketenangan jiwa (sukun).
Tahap kelima terdiri atas kepasrahdirian kepada Tuhan (tawakkal), kepatuhan (ridha), ketundukan kepada kehendak Tuhan (taslim), yakin akan keesaan Tuhan (tauhid), upaya untuk bermanunggal dengan Tuhan (wahdat), dan peleburan diri dalam Tuhan (ittihad).
Pada tahap keenam, proses peleburan diri ke dalam Tuhan mencapai puncak dan sang pejalan (salik) akhirnya hanyut (fana) dalam keesaan Tuhan.
berlanjut ke Bagian 2 >
SUMBER : A HISTORY OF MUSLIM PHILOSOPHY, VOLUME. I.
Chapter 29: Nasir Al-Din Tusi
Oleh Bakhtiar Husain Siddiqi, M.A.,LL.B
Dosen di Bidang Filsafat, Goverenment College, Lahore (Pakistan)