Jumat, 31 Januari 2025

Abu Ayyub al-Anshari

Abu Ayyub al-Anshari adalah seorang sahabat Nabi dari kalangan Anshar, yang berasal dari suku Khazraj. Nama aslinya adalah Khalid ibn Zaid ibn Kalib; ibunya adalah Hindun bint Said. Ia lebih dikenal dengan panggilan Abu Ayyub. Istrinya adalah Ummu Ayyub bint Qais ibn Amr, yang juga berasal dari kalangan Anshar.

Suami-istri dari kalangan Anshar ini adalah penduduk Madinah yang sangat mulia. Ketika hijrah, Rasulullah saw. bertamu ke rumah dan tinggal di rumah Abu Ayyub hingga rampung pembangunan Masjid Nabawi al-Syarif dengan beberapa kamar untuk Nabi saw. dan istri-istrinya.

Suatu hari, Ummu Ayyub melihat suaminya bersiap-siap pergi. Ia telah menyiapkan tas perbekalan, mengasah pedang, kemudian bergegas naik ke punggung kudanya. Ketika Abu Ayyub mengucapkan salam berpamitan, istrinya menanyakan tujuannya, dan Abu Ayyub menjawab, “Telah sampai di Ummul Qura seorang nabi yang mengajak manusia untuk menyembah Allah dan meninggalkan penyembahan berhala. Aku sungguh ingin menemuinya dan mendengar ucapannya ...”

Setelah itu Abu Ayyub bergegas pergi dan sang istri mengantar kepergiannya dengan senyum mengembang. Pikirannya menerawang. Ia pikir, laki-laki yang hendak ditemui oleh suaminya adalah manusia yang dipilih Langit untuk memperbaiki kerusakan dan menghentikan pertumpahan darah yang kerap terjadi antara suku Aus dan Khazraj. Tak lupa ia mendoakan suaminya agar selalu dilindungi dan kembali ke rumah dalam keadaan selamat.

Setelah beberapa hari menunggu, Ummu Ayyub mendengar ringkik kuda suaminya. Ia bergegas keluar dan melihat suaminya tiba dengan wajah yang ceria. Jarak antara Yatsrib dan Makkah cukup jauh, tetapi tak terlihat rasa lelah dari wajah Abu Ayyub. Ia terlihat senang sehingga Ummu Ayyub menyambutnya dengan bahagia. Melihat keceriaan yang terpancar dari wajah suaminya, Ummu Ayyub menduga, perjalanan suaminya membawa hasil baik. Ummu Ayyub tidak buru-buru menanyakan apa yang terjadi selama perjalanan dan bagaimana hasilnya.

Setelah merasa cukup beristirahat, Abu Ayyub bercerita bahwa ia telah bertemu dengan seseorang yang penuh cinta, manusia paling mulia yang diutus oleh Allah untuk membebaskan manusia dari kegelapan menuju cahaya, membersihkan manusia dari penyembahan berhala yang tidak memberi manfaat apa-apa. Ia telah berjumpa dengan seorang nabi yang memberi pencerahan kepada manusia bahwa semesta ini diciptakan oleh Tuhan yang Esa, yang tidak ada sekutu bagi-Nya; Tuhan yang menciptakan segala sesuatu; Dia adalah pencipta yang paling baik; Tuhan yang memberi karunia kepada manusia baik yang tampak maupun yang samar; Tuhan yang mesti disembah, diesakan, dan disucikan dari sekutu, teman, maupun anak. Abu Ayyub juga menceritakan bahwa orang yang ditemuinya itu memiliki gaya bicara yang santun, tuturan yang fasih, dan penjelasan yang cerdas serta menarik. Orang itu punya kemampuan untuk menundukkan para pendengarnya. Lebih jauh, Abu Ayyub mengatakan bahwa ia telah beriman dan membenarkan ucapan orang itu. Ia telah bertekad akan menolong dan membantunya hingga kematian menjemputnya. Ummu Ayyub membiarkan pikirannya menerawang mengikuti penuturan suaminya. Ia berharap bisa segera berjumpa dengan manusia mulia itu yang telah dipilih oleh Allah untuk memberi petunjuk kepada manusia dan membebaskan mereka dari kesesatan. Ia ingin segera bertemu dan menyatakan keimanannya.

Saat perjumpaan dengan Muhammad Rasulullah belum lagi tiba. Naraun, kerinduannya terobati ketika Rasulullah saw. mengutus Mush‘ab ibn Umair untuk mengajarkan Islam kepada penduduk Yatsrib. Sejak utusan Rasulullah saw. tiba di Yatsrib, Abu Ayyub tekun menghadiri majelisnya dan tak lupa mengabarkan kepada istrinya segala yang terjadi dan dibicarakan oleh masyarakat. Pada suatu hari Mush‘ab mengabarkan kepada kaum muslim di Yatsrib bahwa musim haji telah dekat dan Nabi saw. telah menyampaikan keinginannya untuk menemui komunitas Yatsrib di Makkah. Maka, pada musim haji itu lebih dari 70 orang Yatsrib menempuh perjalanan menuju Makkah untuk melaksanakan ibadah haji dan menemui sang kekasih, Muhammad Rasulullah saw. Ikut dalam rombongan itu dua orang wanita, yaitu Ummu Umarah dan Ummu Manik. Abu Ayyub ikut serta dalam rombongan itu. Mereka bertemu dengan Rasulullah dan menegaskan kesiapan mereka untuk membantu perjuangannya dan melindunginya sebagaimana melindungi diri dan keluarga mereka. Abu Ayyub termasuk di antara dua belas orang yang terpilih menjadi wakil komunitas Yatsrib: tiga orang dari Aus dan sembilan orang dari Khazraj. Usai baiat, Rasulullah saw. menyatakan keinginan untuk berremu dengan Abu Ayyub kelak setelah Allah memberinya izin untuk hijrah ke Yatsrib. Sepulangnya ke kampung halaman, Abu Ayyub mengabarkan kepada istrinya bahwa ia telah berbaiat kepada Rasulullah saw., dan bahwa beliau akan segera datang ke Madinah. Ummu Ayyub gembira bukan kepalang mendengar kabar bahwa sang kekasih agung akan hijrah dan menetap di negerinya.

Penduduk Yatsrib menanti kedatangan hari itu dengan penuh kesabaran. Banyak di antara mereka yang menghentikan aktivitas keseharian termasuk berdagang semata-mata untuk menyambut kedatangan Sang Kekasih. Setelah menunggu beberapa hari, mereka mendengar kabar gembira bahwa sang kekasih yang mulia telah tiba di gerbang Yatsrib. Bergegas semua orang pergi menuju batas kota untuk menyambut kedatangan lelaki yang mulia. Semua orang menunjukkan wajah ceria menyambut kedatangan Rasulullah saw. Setiap orang bersikeras agar Nabi saw. sudi singgah ke rumah mereka. Tentu saja Nabi saw. tidak dapat memenuhi keinginan mereka. Segala upaya dilakukan penduduk Yatsrib agar Nabi saw. singgah dan menjadi tamu di rumahnya.

Banyak di antara mereka memegang kendali unta yang ditunggangi Rasulullah saw., masing-masing ingin agar unta tersebut berhenti di rumahnya. Maka, Rasulullah saw. berkata kepada mereka, “Biarkan ia jalan. Unta ini hanyalah tunggangan.” Akhirnya, semua orang melepaskan pegangannya dan membiarkan unta itu berjalan. Nabi saw. Mengatakan bahwa beliau akan singgah di rumah orang yang dipilih oleh untanya. Mata semua orang lekat mengawasi unta itu dengan hati penuh harap, tunggangan manusia yang mulia itu akan berhenti di depan rumah mereka.

Setelah berjalan beberapa saat, unta itu berhenti di halaman rumah Abu Ayyub al-Anshari. Rasulullah saw. turun dari tunggangannya dan tuan rumah membantu menurunkan barang bawaan dengan roman muka yang bahagia karena rumahnya disinggai Nabi yang mulia. Tentu saja banyak penduduk Yatsrib yang kecewa karena rumah mereka tak terpilih menjadi persinggahan Nabi saw. Mereka cemburu karena Abu Ayyub mendapat kemuliaan itu. Sebagian mereka berujar, “Abu Ayyub sungguh beruntung.” Perasaan senang dan bahagia meliputi jiwa pasangan suami-istri itu. Ummu Ayyub senang bukan main karena mendapat kehormatan untuk menyuguhkan makanan kepada sang tamu agung. Ia pun segera menyiapkan tempat tidur saat tamu agung itu ingin beristirahat. Rumah Abu Ayyub terdiri atas dua lantai. Abu Ayyub dan istri sepakat menempatkan Nabi saw. di lantai atas, agar mereka bisa mengantar Nabi ketika hendak naik atau turun. Namun, Nabi saw. ingin orangorang yang ingin menemuinya tidak merasa kesulitan sehingga ia memilih tinggal di lantai bawah. Dengan perasaan sungkan dan berat hati, karena harus berada di atas Rasulullah, Abu dan Ummu Ayyub menerima keinginan tamunya yang mulia.

Keputusan Nabi saw. itu benar-benar menggambarkan kemuliaan dan keagungannya. Ia sungguh manusia mulia dengan sifat-sifat yang mulia sebagaimana ditegaskan oleh Allah dalam firman-Nya:

Rasulullah sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang tnukmin.

Ketika Abu dan Ummu Ayyub hendak beranjak ke peraduan, mereka benar-benar diliputi rasa tidak nyaman karena merasa tidak pantas berada di atas Rasulullah. Mereka pikir, keberadaan mereka di atas Rasulullah saw. bisa jadi akan menghalangi turunnya wahyu kepada Nabi saw. baik di siang maupun malam hari. Maka, Abu Ayyub menyampaikan kekhawatirannya itu kepada Nabi saw., “Ketika kami berada di kamar aras, ada air yang tumpah. Kami sungguh takut jika tumpahan air itu menetes ke bawah dan mengenai tubuh Paduka Yang Mulia. Sungguh kami merasa malu dan berdosa jika hal seperti itu terjadi. Karenanya, tak sepatutnya Rasulullah tinggal di bawah. Kami mohon, biarlah kami tinggal di bawah dan Paduka di atas.”

Mendengar keluhan tuan rumah, Rasulullah saw. tersenyum dan meminta agar mereka tetap di lantai atas dan tidak perlu mengkhawatirkan dirinya.

Kemudian Abu Ayyub berkata, “Wahai Rasulullah, kami mengirimkan makanan untuk Paduka, tetapi makanan itu kembali lagi tanpa ada bekas tangan Paduka.”

Rasulullah saw. bersabda, “Benar (aku tidak memakannya), karena ada bawang merah pada makanan itu. Aku tidak memakannya karena mengharap rida Tuhan, tetapi kalian boleh memakannya.”43 Riwayat lain menyebutkan bahwa makanan itu banyak bawang putihnya.

Abu Ayyub dikenal sebagai orang yang sangat dermawan, ramah, dan selalu memuliakan tamu. Suatu ketika Rasulullah saw. bersama Abu Bakr mendatangi rumahnya. Abu Ayyub mengeluarkan berbagai jenis makanan dari dapur. Ia menyajikan satu nampan kurma dari berbagai jenis, baik yang baru matang ( busr ), kurma matang ( tamr ), dan juga kurma kering ( rutbab ). Tak hanya itu, Abu Ayyub kemudian menyembelih hewan. Setelah makan, Rasulullah saw. bersabda, “Demi zat yang jiwaku berada dalam genggaman-Nya, nikmat ini akan mendapat ganjaran pada hari kiamat kelak.”

Abu Ayyub selalu mengikuti Rasulullah saw. dalam berbagai perjuangan untuk menegakkan Islam. Ia turut serta dalam beberapa peperangan bersama Rasulullah saw., termasuk Perang Badar, Perang Uhud, dan perang-perang lainnya. Ia pun ikut berjuang bersama para Khalifah Rasyidin, termasuk Khalifah Ali r.a. Dalam sebuah riwayat, Ibn Umar mengutip perkataan Mujahid bahwa Abu Ayyub ikut berperang ke Romawi pada masa Khalifah Muawiyah di bawah komando Yazid ibn Muawiyah. Ia wafat di Konstantinopel pada 51 Hijriah (sebagian mengatakan pada 50 Hijriah ). Ia dimakamkan di sana dan Yazid memerintahkan pasukan kavaleri untuk memberikan penghormatan terakhir kepadanya. Semoga Allah memberinya rahmat.

Artikel Terkait