Selasa, 25 Februari 2025

Abu dan Ummu Salamah

Abu Salamah adalah sahabat Nabi keturunan Bani Makhzumi. Namanya adalah Abu Salamah Abdullah ibn Abdul Asad ibn Hilal ibn Abdullah ibn Umar ibn Makhzum, sementara istrinya bernama Hindun bint Abi Umayyah ibn Mughirah—yang akrab disapa “Ummu Salamah”. Abu Salamah adalah muslim yang pertama kali berhijrah ke Abisinia, dan kemudian kembali ke Makkah. Sekembalinya ke Makkah, orang Quraisy sering mengganggu dan menyakitinya. Karena itu, ketika Rasulullah memerintahkan hijrah, ia segera mengajak istrinya, Ummu Salamah dan anaknya, Salamah. Abu Salamah segera menyiapkan kendaraan untuk mengangkut keluarganya pindah ke Madinah. Setelah persiapan tuntas, mereka segera menunggangi kendaraan dan bergerak menuju Madinah.

Namun, keluarga Bani Asad dan Bani al-Mughirah mengetahui rencana kepergian Abu Salamah dan keluarganya. Salah seorang anggota keluarganya, yaitu Abdullah ibn Abu Umayyah (saudara Ummu Salamah ) bersama beberapa orang lain segera memacu unta mereka untuk mencegat rombongan Abu Salamah. Setelah berhasil mengejar mereka, Abdullah ibn Abu Umayyah mengambil alih tali kekang unta Abu Salamah, kemudian mengambil Ummu Salamah beserta putranya, dan berkata, “ Hai Abdullah, uruslah dirimu sendiri. Kami tidak akan mengusikmu. Sedangkan anggota keluarga kaini (maksudnya Ummu Salamah ) dan putranya sama sekali tidak akan kami biarkan ikut bersamamu.”

Mendengar ucapan Abdullah ibn Abu Umayyah, Bani Asad, keluarganya Abu Salamah, marah dan berusaha merebut Salamah dari tangan ibunya. Mereka berkata, “Demi Allah, kami tidak akan membiarkan putra kami bersama wanita ini ( Ummu Salamah ), karena kalian telah memisahkannya dari keluarga kami (Abu Salamah).”

Kedua keluarga itu memperebutkan Salamah. Bani Asad berusaha membawanya bersama mereka, sementara Bani Umayyah bersikeras anak itu tetap bersama ibunya. Pertengkaran itu semakin sengit, dan hampir saja anak kecil itu lepas dan terjatuh dari pelukan ibunya.

Melihat keadaan yang semakin runyam, Abu Salamah bersikukuh melanjutkan hijrahnya. Bani Asad dan Bani al-Mughirah tidak dapat menahan dan mengubah pendiriannya. Mereka membiarkannya berjalan ke Madinah seorang diri. Abu Salamah memacu kendaraannya dengan cepat. Akhirnya, ia tiba di Madinah dan segera menemui Rasulullah. Ummu Salamah tinggal di Makkah bersama putranya setelah kaumnya merenggut dirinya dari suaminya. Anaknya itu masih kecil dan masih membutuhkan perhatian serta kasih sayangnya.

Ummu Salamah menjalani kehidupannya yang berat itu dengan penuh kesabaran. Setiap pagi ia menggendong putranya itu, lalu duduk di Abthah (bagian utara Makkah ), seraya merenungi kesendirian dan kepedihannya hidup terpisah dari suaminya. Penderitaan semakin terasa berat karena ia tak punya kemampuan untuk pergi dan menemui suaminya. Ia habiskan hari-harinya dari pagi hingga terbenam matahari dengan mengurus dan memperhatikan anaknya. Sore hari, ia kembali pulang ke rumah. Kesedihan dan kesunyian semakin mengoyak hatinya hingga hampir saja merusak jiwanya.

Hari-hari berlalu terasa sangat panjang. Kurang lebih satu tahun lamanya Ummu Salamah harus hidup dalam kesendirian dan derita kepedihan. Setiap hari ia jalani kehidupannya dalam kesunyian hanya ditemani oleh putranya. Kendati demikian, ia tak pernah putus harapan. Setiap saat ia berharap dan memohon kepada Allah agar segera dipertemukan dengan suaminya. Hingga pada suatu hari, ketika Ummu Salamah duduk di Abthah merenung dalam kesendirian, salah seorang putra pamannya dari Bani al-Mughirah lewat di tempat itu. Kesedihan dan kesunyian jelas terlihat pada raut muka Ummu Salamah. Air mata mengalir deras membasahi wajahnya. Ia menangisi keadaan yang dideritanya. Melihat keadaan Ummu Salamah, putra pamannya itu merasa iba dan berjanji akan membujuk kaumnya agar mengasihi dan memberinya kesempatan untuk bertemu dengan suaminya.

Laki-laki itu memenuhi janjinya dan ia segera menemui Bani al-Mughirah. Ia berkata kepada mereka dengan suara yang lembut membangkitkan iba, “Wahai kaumku, apakah kalian tidak takut kepada Allah dan tetap menyiksa wanita malang ini. Biarkanlah ia pergi menemui suaminya setelah sekian lama kalian memisahkan mereka.”

Tentu saja pada awalnya Bani al-Mughirah menolak keinginan dan saran laki-laki itu. Mereka mempertahankan harga diri mereka sebagai kabilah Arab. Namun laki-laki itu terus mendesaknya dan memohon belas kasihan mereka untuk Ummu Salamah. Akhirnya, Bani al-Mughirah mengizinkan Ummu Salamah pergi ke Madinah bersama putranya untuk menemui suaminya yang lebih dulu telah tiba di Madinah. Hanya saja, mereka membiarkannya berangkat seorang diri, tidak dikawani siapa pun, cukup dirinya dan putranya yang masih kecil. Ia harus menempuh perjalanan yang berat dan melelahkan itu seorang diri. Itulah keputusan kaumnya, dan ia tak bisa ben buat apa -apa selain mengikuti keputusan mereka.

Meski harus menempuh perjalanan yang berat seorang diri, Ummu Salamah bahagia karena harapannya untuk bertemu dengan Abu Salamah segera terwujud. Ummu Salamah menyiapkan kendaraannya dan menggendong putranya yang masih kecil. Ia menyandarkan dirinya dalam perjalanan itu hanya kepada Allah. Ummu Salamah dan putranya itu berangkat menuju Madinah. Mereka harus menempuh perjalanan yang panjang dan melelahkan. Perjalanan itu semakin terasa berat karena ia sama sekali tidak mengenal medan perjalanan yang akan ditempuhnya. Ia hanya bertawakal dan mengikatkan keyakinannya kepada Allah yang akan menjaga serta melindunginya.

Tiba di wilayah Tan'im, seorang laki-laki, Utsman ibn Thalhah, melihat Ummu Salamah berjalan seorang diri di atas unta tunggangannya. Saat itu Utsman ibn Thalhah adalah seorang kafir. Utsman bertanya keheranan, “Wahai putri Abu Umayyah, hendak pergi ke mana?”

Ummu Salamah merasakan ketulusan dan ketenangan dalam pertanyaan Thalhah. Ia menjawab dengan air mata mengalir deras membasahi wajahnya, Allah mengetahui apa yang tengah berkecamuk dalam dadanya, “Aku ingin bertemu dengan suamiku Abdullah yang telah berhijrah ke Madinah.”

Thalhah kembali bertanya, “Tidak adakah anggota keluarga yang menemani perjalananmu ?”

Ummu Salamah menjawab dengan nada yang pasti, nada seorang mukmin yang meyakini kekuasaan Tuhannya, “ Allah bersamaku, dan anakku menyertaiku,” sambil menunjuk ke anak kecil dalam gendongannya.

Sebagai laki-laki Arab, Thalhah merasa wajib menjaga, melindungi, dan menemani wanita itu dalam perjalanan yang berat untuk menemui suaminya di Madinah. Thalhah meninggalkan urusannya dan mengambil alih tali kendali unta Ummu Salamah. Thalhah menuntun dan menjadi pemandu jalan bagi Ummu Salamah menuju Madinah al-Munawwarah.

Sejarah mencatat kemuliaan dan perilaku terpuji Thalhah meskipun saat itu ia seorang kafir. Ia menemani Ummu Salamah dalam perjalanan panjang dan berat itu. Ketika perjalanan semakin berat dan melelahkan, mereka berhenti dan bernaung di bawah pohon yang rindang untuk sejenak melepas lelah. Selama beberapa hari keduanya terus berjalan menuju Madinah. Ummu Salamah, sambil menggendong putranya, naik di atas untanya yang dituntun oleh Utsman ibn Thalhah hingga akhirnya mereka tiba di kota Madinah.

Ummu Salamah mengetahui dari kabar yang diterimanya bahwa suaminya tinggal di salah satu rumah keluarga Auf ibn Malik di Kuba. Setibanya di Madinah, Thalhah melepaskan tali kekang unta itu dan meninggalkan Ummu Salamah melanjutkan perjalanannya. Ia sendiri kembali pulang ke Makkah disertai ungkapan syukur dan terima kasih dari Ummu Salamah. Ia berdoa kepada Allah agar Dia menunjuki Thalhah ke jalan yang lurus, jalan kebenaran.

Ummu Salamah berkata tentang Utsman ibn Thalhah, “Aku tidak pernah ditemani seorang Arab pun yang lebih mulia darinya. Ketika kami tiba di tempat istirahat, ia menghentikanku, lalu mundur menjauhiku. Setelah aku turun, ia membawa untaku ke belakang, menurunkan tandunya, kemudian mengikatkannya pada pohon. Ia sendiri menyingkir dariku ke bawah sebatang pohon dan tidur di sana. Jiwa waktu sore hampir tiba, ia mendekati untaku, dan memasangkan pelananya, kemudian mundur dan berkata, ‘Naiklah.’ Setelah aku naik dan duduk di atas kendaraan, ia mendekati kembali, untuk memegang kendali untaku dan memandunya menempuh perjalanan. Ketika kami tiba di Bani Amr ibn Auf di Quba, ia berkata, ‘Suamimu ada di desa ini, masuklah disertai berkah Allah.’”

Setelah keluarga Abu Salamah hijrah ke Yatsrib, Abdullah ibn Jahsy menyusul kemudian. Dengan demikian, ia menjadi orang kedua yang berhijrah ke kota itu. Ia pergi bersama seluruh keluarganya hingga rumah mereka kosong seakan ditinggal mati oleh para penghuninya. Para pemimpin Quraisy berkeliling Makkah untuk mengetahui siapa saja di antara kaum muslimin yang telah pindah ke Yatsrib. Setibanya di rumah Abdullah ibn Jahsy, Abu Jahal memasukinya. Abdullah ibn Jahsy termasuk di antara penduduk Makkah yang kaya raya. Rumahnya terbilang megah dan penuh perabotan. Abu Jahal yang tak tahu adat memasuki rumah itu dan mengambil barang-barang yang ada di dalamnya seakan-akan semua itu miliknya sendiri.

Kaum muslimin menjalankan perintah hijrah dengan penuh ketaatan. Mereka menempuh perjalanan yang berat menuju Yatsrib secara orang per orang atau berkelompok. Tentu saja banyak rintangan dan kesulitan yang mesti dihadapi kaum muslimin dalam perjalanan hijrah. Namun, mereka menghadapinya dengan penuh kesabaran dan ketabahan. Sementara itu, Rasulullah masih menetap di Makkah sambil menunggu izin dari Tuhannya untuk hijrah.

Artikel Terkait