Abu Darda adalah seorang sahabat Nabi dari kalangan Anshar yang berasal dari suku Khazraj. Nama aslinya adalah Uwaimir. Ayahnya bernama Amir ibn Malik ibn Zaid ibn Qais ibn Umayyah,56 dan ibunya bernama Mahabbah bint Qaqid ibn Amr ibn al-Ithnabah. Ia lebih dikenal dengan nama panggilan Abu Darda. Ia disebut begitu karena memiliki seorang putri bernama Darda, yang kelak menikah dengan Yazid ibn Muawiyah.
Abu Darda termasuk orang yang belakangan masuk Islam, karena baru mengucapkan syahadat setelah Perang Badar— sebuah peristiwa penting, titik kemenangan besar dalam sejarah Islam. Sebelum mengenal Islam, laiknya para pemuka Quraisy dan para pembesar Yatsrib lain, Abu Darda dikenal sebagai orang yang angkuh dan besar kepala. Ketika Abu Darda bersama para penyembah berhala lain sujud di hadapan berhala dari kayu atau pahatan batu, mereka merendahkan yang lain. Ia enggan menyembah Allah yang telah menciptakannya dalam bentuk yang sempurna, memberinya akal yang bisa membedakan antara baik dan buruk, antara yang kurus dan yang gemuk, yang bengkok dan yang lurus. Tak seorang pun dari mereka sadar bahwa batu atau kayu yang mereka sembah itu sama sekali tidak memberi manfaat atau pun mudarat.
Kesesatan dan penyimpangan keyakinan mereka itu didasarkan atas pendapat yang tidak masuk akal. Mereka mewarisi keyakinan itu dari nenek moyang secara turun temurun hingga semakin lama mereka semakin karam dalam kesesatan. Mereka terus berada dalam kesesatan seandainya tidak datang kepada mereka seorang utusan yang membacakan ayat-ayat Tuhan, memperbaiki mereka, dan memandu mereka menuju jalan yang lurus.
Kisah keislaman Abu Darda cukup unik, karena sebelumnya ia adalah seorang musyrik yang bengal, enggan mengakui kerasulan Muhammad atau mengimani Allah. Ia masuk Islam berkat ketekunan dan kesungguhan sahabatnya, Abdullah ibn Ruwahah, yang terus mengajaknya kepada Islam dan menunjukkan kesesatan keyakinannya. Abdullah ibn Ruwahah adalah penyair Rasulullah saw. dari kalangan Anshar. Pada suatu hari, sepulangnya dari Perang Badar bersama pasukan Muslim dengan membawa kemenangan gemilang, Abdullah ibn Ruwahah mengunjungi rumah sahabatnya, Abu Darda sambil menenteng kampak. Tiba di rumah kawannya itu, Abdullah ibn Ruwahah langsung menuju salah satu sudut rumah tempat Abu Darda menyimpan patung-patung sembahannya. Tanpa raguragu lagi, Abdullah menghancurkan semua berhala itu hingga hancur berkeping-keping.
Tentu saja Abu Darda kaget bukan main melihat tingkah sahabatnya itu. Ia sama sekali tidak mengerti maksud perbuatan Ibn Ruwahah. Bahkan sesaat ia merasa marah karena kawannya itu telah menghina tuhan-tuhannya. Memang selama beberapa hari Ibn Ruwahah sering berbicara tentang keyakinan baru yang dianutnya, dan juga tentang nabi terakhir yang diutus Tuhan untuk manusia. Sahabarnya itu juga sering mencela perbuatannya menyembah berhala dan mengajaknya mengikuti Rasul yang datang dari Makkah. Tapi, Abu Darda belum memahami mengapa Ibn Ruwahah sangat membenci tuhan-tuhannya hingga berani menghancurkannya.
Namun, setelah mengamati berhala-berhala yang kini menjadi puing berserakan, kesadaran mulai meliputi jiwa dan pikirannya. Ia sadar, ternyata tuhan yang selama ini disembahnya bahkan tidak dapat membela dirinya sendiri dari kehancuran. Jadi, bagaimana mungkin tuhan-tuhan itu dapat memberi manfaat dan mudarat kepada manusia. Abu Darda sadar, selama ini ia menyembah tuhan-tuhan yang palsu. Jiwanya mulai diterangi cahaya kebenaran. Pancaran keimanan mulai menyentuh hatinya dan menerangi segenap jiwanya. Maka, tidak lama kemudian, setelah berbicnang-bincang dengan sahabatnya, Ibn Ruwahah, ia dan Yahtsan al-Khutha berangkat untuk menyatakan keislamannya di hadapan Rasulullah. Sejak saat itulah Abu Darda menjadi Muslim yang setia dengan keislaman dan keimanannya.
Pada suatu hari Nabi saw. bersabda kepada para sahabatnya—termasuk Abu Darda, “Aku ingin mengabarkan kepada kalian tentang perbuatan yang paling baik menurut Tuhan kalian, yang akan meninggikan derajat kalian, yang lebih baik daripada memerangi musuh, menyerang orang yang melindungi musuh kalian dan mereka pun menyerang orang yang melindungi kalian, dan perbuatan yang lebih istimewa daripada dirham dan dinar, yaitu mengingat Allah yang Mahaluhur.”
Mengingat Allah adalah perbuatan terbaik, perbuatan yang paling utama di antara segala kebaikan, dan yang lebih mulia dibanding emas dan perak. Mengingat Allah mengatasi semua itu, dan ganjarannya pun lebih besar. Maka, wahai orang yang beriman, ingatlah Allah sebanyak-banyaknya, sucikanlah Dia di pagi maupun senja hari, bersyukurlah kepada-Nya dan jangan ingkar, agar kalian berbahagia saat berjumpa dengan-Nya. Dialah zat yang selalu mendengar dan memberi jawaban ketika segala macam obat tidak mempan dan saat semua dokter angkat tangan.
Ketika Abu Darda—yang dikenal sebagai sodagar kaya raya—merugi dalam perniagaannya, ia menemukan kearifannya dan mulai menyadari bahwa ada satu bentuk perdagangan yang tidak akan pernah membuatnya merasa rugi, yaitu berdagang dengan Allah Yang Mahatingggi, Maha Agung, dan Maha Pemaaf. Abu Darda sampai pada keyakinan bahwa ibadah kepada Allah akan mengantarkan pelakunya menuju kebahagiaan abadi dan keuntungan yang besar.
Sejak saat itu Abu Darda muncul sebagai sosok Muslim yang taat beribadah. Ia juga selalu ikut serta dalam beberapa peperangan bersama Rasulullah saw., mulai dari Perang Uhud— sebagian pendapat mengatakan, mulai Perang Khandaq—hingga perang-perang berikutnya. Ketika kaum Muhajirin menetap di Madinah, Rasulullah saw. mempersaudarakan Abu Darda dengan Salman al-Farisi.
Suatu ketika Abu Darda pernah berdoa, “Ya Allah, aku berlindung dari perpecahan hati.”
Seseorang bertanya, “Apa maksud perpecahan hati, wahai Abu Darda?”
“Selalu menginginkan harta dalam setiap kesempatan.”
“ Bukankah Allah tidak mengharamkan jual-beli tetapi mengharamkan riba?”
“Benar, tetapi aku ingin menjadi orang yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak ( pula) oleh jual beli dari mengingat Allah, dan (dari) mendirikan shalat.”
Ayyub menceritakan dari Abu Qilabah bahwa Abu Darda melewati sekumpulan orang yang sedang mengejek orang yang berbuat dosa. Ia lantas berkata, “Jika ia yang menjadi korban ( perbuatan dosa ), apakah kalian akan membantunya ?” Mereka menjawab, “Tentu saja.”
“Maka, tak sepatutnya kalian mengejek saudara kalian. Memujilah kepada Allah yang telah memaafkan kalian.” Mereka menimpali, “Apakah kau tidak marah kepadanya ?
Abu Darda menjawab, “Aku hanya membenci perbuatannya. Jika ia telah menginsafinya dan bertobat darinya, berarti ia saudaraku.” Sungguh suatu kebijakan yang patut diteladani.
Abu Darda juga pernah berujar, “Satu hal yang paling kutakutkan adalah jika pada hari kiamat nanti aku ditanya di hadapan semua makhluk: ‘Hai Uwaimir, apakah kau termasuk orang yang mengerti?’ Aku akan menjawab, ‘Ya.’
Kemudian aku kembali ditanya, ‘Bagaimana kau mengamalkan sesuatu yang kauketahui ? Sepertinya kau lebih suka mencela orang lain daripada kehilangan saudaramu! Siapakah yang lebih berhak kau tolong dibanding saudaramu sendiri? Berbagilah kepada saudaramu dan perlakukanlah ia dengan lemah lembut! Jangan pernah mengikuti ucapan orang yang hasud! Jika tidak, kau tidak ada bedanya dengan mereka. Kelak, jika maut menghampirinya dan kau berpisah dengannya, bagaimana bisa kau menangisinya sesudah kematiannya, sementara selama ia hidup kau tidak pernah menunaikan haknya ?!
Suatu hari seseorang minta didoakan, dan Abu Darda menjawabnya dengan penuh kerendahan hati, “ Aku bukanlah hamba yang baik dan aku khawatir doaku ditolak.”
Rasulullah saw. pernah bersabda mengenai Abu Darda, “Uwaimir adalah seorang hakim dari umatku.” Karenanya, wajar jika Uwaimir dikaruniai kebaikan dan kebijakan yang berlimpah sesuai dengan firman Allah:
Allah menganugerahkan hikmah ( pemahaman mengenai AlQuran dan Sunnak ) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Barang siapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi kamnia yang banyak. Dan, hanya orang berakal yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah)
Selain dikenal karena kearifannya, Abu Darda juga dikenal sebagai penunggang kuda yang mahir. Ketika berperang, ia tampil gagah dan tangkas menunggangi kudanya. Kebaikan apa lagikah yang diharapkan oleh seorang yang arif, bijak, dan tenar sebagai penunggang kuda yang tangkas?
Para sahabat lain mengakui kemuliaan dan kebaikan Abu Darda, termasuk di antaranya Muawiyah yang menikahkan putranya, Yazid, kepada putri Abu Darda
Abu Darda tidak hanya memedulikan keselamatan dirinya dengan menyerahkan seluruh dirinya kepada Allah dan menunaikan ketaatan kepada-Nya sehingga ia terhindar dari fitnah dunia dan siksa akhirat. Ia juga berusaha melindungi dan menerangi jiwa orang-orang di sekitarnya. Setiap saat ia mengajak keluarga dan kerabatnya untuk menaati Allah. Ia tahu bahwa satu-satunya jalan menuju keselamatan di akhirat adalah tunduk dan taat kepada Allah. Ia mengajak orang lain untuk mengikuti jalan keselamatan itu. Ia sendiri tidak pernah berpaling atau menyimpang dari jalan tersebut agar termasuk orang yang terlindungi. Menjelang ajal menjemputnya, Abu Darda menangis. Istrinya bertanya, “Mengapa engkau menangis, wahai sahabat Rasulullah?”
Abu Darda menjawab, “Sungguh tidak ada alasan bagiku untuk tidak menangis. Aku tidak tahu, adakah sesuatu yang lebih besar dibanding dosa-dosaku ?!
Abu Darda wafat dua tahun sebelum kematian Khalifah Utsman ibn Affan. Sebelum meninggal, ia pernah menjabat sebagai qadi di Damaskus. Semoga Allah memberinya rahmat.