Selasa, 04 Februari 2025

Abu Dzar al-Ghifari

Abu Dzar al-Ghifari adalah seorang sahabat Nabi yang berasal dari suku Ghifar. Ia termasuk sahabat utama dan memiliki kedudukan yang penting di sisi Nabi saw. Nama aslinya adalah Jundab ibn Junadah ibn Qais ibn Amr. Ada beberapa pendapat berbeda tentang nama ayahnya, tetapi yang paling populer adalah Junadah ibn Qais ibn Amr. Ibunya bernama Ramlah bint al-Qaqi‘ah al-Ghifari. Ia termasuk di antara lima orang yang pertama memeluk Islam. Ketika ia mendatangi Nabi saw. yang sedang membaca ayat-yat Al-Quran, ia takjub dan terpesona. Pada saat itu juga ia langsung menyatakan keislamannya, lalu bertanya kepada Rasulullah saw., “Apakah yang hendak Paduka perintahkan kepadaku? ”

Nabi saw. menjawab, “Kembalilah kepada kaummu dan tunggulah sampai ada perintah dariku.”

Abu Dzar merasa terlahir kembali. Seolah-olah ia mendapat limpahan energi yang sangat kuat. Tentu saja, karena ia telah mendapatkan sumber kekuatan yang sangat hebat, yaitu keimanan. Maka, ia melangkah cepat menuju Masjidil Haram, lalu meneriakkan kalimat syahadat dengan lantang. Para pembesar Quraisy tercengang. Mereka langsung berkumpul mendekatinya, lalu beberapa orang menangkap dan memukulinya. Al-Abbas ibn Abdul Muthalib yang melihat kejadian itu bergegas mendekati kerumunan, dan berkata, “Celakalah kalian semua! Tidakkah kalian tahu bahwa ia berasal dari Ghifar, daerah yang sering dilewati kafilah dagang kalian ?! Jika kalian menyakiti orang Gihfar, sangat mungkin mereka akan menjegal kafilah dagang kalian.”

Orang-orang Quraisy itu pun meninggalkannya. Keesokan harinya, Abu Dzar kembali mendatangi Masjidil Haram dan meneriakkan kalimat syahadat. Orang-orang Quraisy kembali mengeroyok dan memukulinya hingga ia jatuh pingsan. Setelah kejadian yang kedua, Rasulullah kembali memintanya pulang kepada kaumnya dan mengajak mereka kepada Islam. Maka, Abu Dzar pulang kepada kaumnya dan menyebarkan seruan Islam kepada mereka. Setelah kaumnya mengikuti seruannya, ia bergerak menyeru kabilah Aslam dan mereka pun mengikuti seruannya.

Hari-hari berlalu, Abu Dzar tetap kukuh dalam keimanannya kepada Allah dan Rasulullah saw. Ia pun tak pernah bosan mengajak orang-orang untuk mengikuti jalan Islam, jalan keselamatan. Suatu hari, Abu Dzar mendengar bahwa Rasulullah saw. telah hijrah dan menetap di Madinah. Maka, ia pun berangkat bersama anggota kabilah Ghifar dan kabilah Aslam menuju Madinah untuk menemui Nabi saw. dan Ketika mendengar kabar kedatangan mereka, Nabi saw. tampak ceria, lalu bersabda, “Sungguh Allah telah mengampuni orang Ghifar dan menyelamatkan orang Aslam, sementara orang Ashiyyah telah mengingkari Allah dan Rasul-Nya.”

Abu Dzar mendapat kebaikan dan kemuliaan yang berlimpah. Ia memiliki kedudukan penting di sisi Nabi saw. karena berhasil mengislamkan dua kabilah. Ia telah membuat mereka mencintai Allah dan Rasul-Nya, serta mengikat mereka dengan tali kebenaran dan kejujuran. Ia juga mengajari mereka agar tidak pernah merasa takut pada apa pun, kecuali kepada Allah.

Suatu ketika Nabi saw. bertanya, “ Bagaimana kalian dan para pemimpin setelahku mengelola harta rampasan ?”

Abu Dzar al-Ghifari menjawab, “Demi zat yang mengutusmu, aku akan menghunus pedangku di atas pundakku, lalu menebaskannya, kecuali engkau mencegahnya.”

Nabi saw. bersabda, “Maukah kalian kutunjukkan kepada sesuatu yang lebih baik dari itu ? Sembahlah Allah, niscaya kalian akan berjumpa denganku.”

Abu Dzar pun menyarungkan kembali pedangnya, tetapi ia tetap kukuh dengan ucapannya. la selalu menjadi orang yang lantang menyuarakan kebenaran, memerangi kebatilan, serta menentang orang zalim dan para pendukungnya. Ia juga dikenal sebagai sahabat yang paling zuhud, menghindari dunia dan segala perhiasannya.

Ia sering menghindari keramaian dan tidak suka ketika orang-orang menyambut dan mengelu-elukannya. Ketika datang ke suatu tempat dan melihat orang-orang menyambutnya, ia akan berpaling dan menjauh. Al-Thabrani meriwayatkan bahwa Nabi saw. bersabda, “Kezuhudan Abu Dzar di antara umatku adalah seperti Isa ibn Maryam.”

Ketika Nabi saw. wafat, Abu Dzar merasa sangat terpukul dan berduka seperti semua kaum muslim lainnya. Kendati demikian, ia tetap kukuh dalam kesalehannya. Ia pun mengikuti dengan setia kepemimpinan Khalifah Abu Bakr al-Shiddiq r.a. Ia melihat Abu Bakr melaksanakan tugasnya sebagai pemimpin umat dengan baik hingga ajal menjemputnya. Kemudian Umar ibn al-Khattab r.a. muncul sebagai pemimpin kaum muslim. Sebagaimana Abu Bakr, Umar pun memimpin umat mengikuti teladan Rasulullah saw. Setelah Umar wafat, Utsman ibn Affan menjadi khalifah. Di masa kepemimpinan Utsman, Abu Dzar melihat sebagian pemimpin kaum muslim terbius oleh kehidupan dunia dan kenikmatannya. Maka, Abu Dzar bangkit meneriakkan ketidakadilan. Ia mengkritik para pemimpin umat yang dilenakan oleh kehidupan dunia. Salah seorang pemimpin, yaitu Muawiyah, merasa terusik dengan teriakan dan kritikkritik yang dilontarkan Abu Dzar sehingga ia menulis surat kepada Khalifah Utsman ibn Affan, yang kemudian memanggil Abu Dzar dan memintanya agar menetap di Madinah mendainpinginya. Namun, Abu Dzar menjawab, “Aku tidak punya kepentingan apa pun dengan urusan dunia kalian.” Kemudian ia pergi menuju Rubadzah.

Abu Dzar memang terkenal dengan kesalehan dan kezuhudannya. Tak sekali pun ia dipalingkan oleh urusan dunia dari mengingat Allah dan beribadah kepada-Nya.

Mengenai keteguhan dan kezuhudan Abu Dzar, Nabi saw. pernah menyebutkannya dalam hadis ketika kaum muslim bergerak menuju Tabuk. Dalam ekspedisi itu ada beberapa Muslim yang tidak ikut ke medan perang. Ketika para sahabat melaporkan hal itu. Rasulullah saw., “ Biarkan saja. Kalau beruntung, Allah akan mempertemukan mereka dengan kalian. Jika tidak, cukuplah kalian bagi Allah.”

Lalu seorang sahabat berteriak, “Wahai Rasulullah, Abu Dzar tidak ada dalam barisan.” Rasulullah memberikan jawaban serupa.

Kemudian barisan pasukan kaum muslim berangkat menuju Tabuk. Namun, setelah berjalan beberapa lama, para sahabat melihat seorang laki-laki berjalan kaki menyusul mereka. Karena masih jauh, para sahabat tidak dapat tahu bahwa orang yang sedang berjalan kaki itu adalah Abu Dzar, yang tertinggal dari pasukan karena untanya tua dan lemah. Akhirnya, ia meninggalkan untanya dan berjalan kaki sambil memanggul perbekalannya menyusuri padang pasir.

Seorang sahabat lapor kepada Nabi saw., “Ada seorang laki-laki berjalan kaki menyusul kita.” Nabi saw. bersabda, “Apakah ia Abu Dzar ?”

Kaum muslim memperhatikan lelaki yang sedang berjalan itu kemudian mereka berkata, “Wahai Rasulullah, demi Allah, ia memang Abu Dzar.”

Rasul kembali bersabda, “Semoga Allah merahmati Abu Dzar yang berjalan seorang diri, mati seorang diri, dan (kelak akan) bangkit seorang diri.”

Rasulullah saw. telah mengakui keistimewaan, keutamaan, dan ketinggian derajatnya. Pada suatu ketika Rasulullah saw. bersabda, “Abu Dzar dalam umatku seperti Isa ibn Maryam dalam hal kezuhudannya.” Dalam kesempatan lain, Rasulullah bersabda, “Pohon-pohon hijau tidak memberikan naungan dan tanah tidak memberikan pangkuan kepada orang yang memiliki ucapan yang lebih jujur daripada Abu Dzar. Barang siapa yang ingin melihat ketawadukan Isa ibn Maryam, lihatlah Abu Dzar.”

Abu Dzar menjalani kehidupannya sebagai seorang zahid. Ia tak pernah makan berlebihan. Pada masa Rasulullah masih hidup, jatah makanannya hanya satu sha kurma. Ia tidak mengambil jatah yang lebih dari itu walaupun kaum muslim mendapatkan kemudahan dan kekayaan setelah penaklukan Makkah.

Ternyata apa yang disabdakan oleh Nabi saw. itu benarbenar menjadi kenyataan. Di saat-saat terakhir kehidupannya, Abu Dzar memilih mengasingkan diri, tidak ada yang menemaninya kecuali istri dan anaknya. Dan, menjelang kematiannya, Abu Dzar berwasiar kepada istri dan anaknya agar jika ia wafat, merekalah yang memandikan dan mengafaninya. Kemudian, Abu Dzar meminta agar keduanya meletakkan jenazahnya di pinggir jalan, dan mengatakan kepada orang pertama yang melewati jenazahnya bahwa ia adalah Abu Dzar, sahabat Rasulullah, dan mintalah tolong kepada mcreka untuk menguburkannya.

Ketika Abu Dzar meninggal, keduanya melaksanakan wasiat tersebur dengan meletakkan jenazahnya di pinggir jalan. Saat itulah Abdullah ibn Mas‘ud dan serombongan penduduk Irak lewat untuk umrah. Saat berjalan, mereka melihat seorang wanita menangis di sisi jenazah seorang laki-laki. Ketika Ibn Mas'ud menanyakan apa yang sedang dilakukannya, wanita itu yang tak lain adalah istri Abu Dzar, menjawab, “ Ini adalah jenazah Abu Dzar sahabat Rasulullah, tolong kuburkanlah jenazah ini.” Abdullah ibn Mas‘ud pun menangis dan berkata, “ Benarlah Rasulullah yang telah bersabda bahwa Abu Dzar berjalan sendirian, meninggal sendiri, dan akan dibangkitkan seorang diri pula.” Malta Ibn Mas‘ud dan para sahabatnya segera menyalati jenazah Abu Dzar dan kemudian menguburkannya. Setelah itu, Ibn Mas‘ud menceritakan kepada para sahabatnya hadis Rasulullah tentang Abu Dzar yang beliau sampaikan ' ketika pasukan Muslim berjalan menuju Tabuk.

Semoga Allah merahmati Abu Dzar

Artikel Terkait