Abu Thalhah al-Anshari seorang sahabat Nabi dari kalangan Anshar, keturunan Bani Najjar. Nama aslinya adalah Zaid putra Sahal ibn Aswad ibn Haram. Ia terkenal dengan panggilan Abu Thalhah. Bagaimanakah kisah keislaman Abu Thalhah?
Diceritakan bahwa Abu Thalhah termasuk pedagang Madinah yang kaya raya. Simpanan emas dan peraknya cukup banyak. Tetapi ia merasa kehidupannya belum sempurna, karena ia tidak punya istri yang baik yang akan menggenapkan kebahagiaannya dan yang akan memberinya anak-anak untuk mengisi hari-harinya. Maka, Abu Thalhah berupaya mencari seorang wanita yang layak untuk mendampinginya hingga ia bertemu dengan Ummu Sulaim bint Malhan yang dikenal sebagai wanita salehah berakhlak mulia dan taat beragama. Ummu Sulaim memiliki sifat dan keistimewaan yang jarang dimiliki wanita lain. Maka, setelah merasa yakin dengan pilihannya, Abu Thalhah bersegera pergi menuju rumah Ummu Sulaim untuk melamarnya sebelum didahului orang lain. Ketika Abu Thalhah mengetuk pintu, putra Ummu Sulaim, Anas, yang juga pembantu Nabi saw. membuka pintu.
Setelah mengetahui maksud kedatangan Abu Thalhah, Ummu Sulaim berkata, “Abu Thalhah, tidak ada orang yang akan menolak orang sepertimu. Tetapi sayang, engkau tidak sebanding denganku. Kau pasti tidak akan mampu memenuhi maskawin yang kuinginkan.”
Mendengar jawaban Ummu Sulaim, Abu Thalhah tersenyum tenang. Ia berpandangan, Ummu Sulaim belum mengetahui kedudukan dan kekayaan yang dimilikinya. Menurutnya, Ummu Sulaim tidak mengenal dengan baik siapa dirinya, pemilik banyak emas dan perak. Abu Thalhah sudah siap memenuhi seberapa pun besarnya mahar yang diminta Ummu Sulaim.
Tetapi Abu Thalhah keliru, bukan Ummu Sulaim yang tidak mengenalnya, tetapi dialah yang tidak mengenal sifat Ummu Sulaim, seorang wanita salehah yang sangat zuhud terhadap dunia dan segala perhiasannya. Ummu Sulaim sama sekali tidak tertarik dengan emas dan perak yang dimiliki Abu Thalhah.
Dengan nada yang tenang, Abu Thalhah berkata, “Hai Ummu Sulaim, atas dasar apa kau mengatakan bahwa aku tidak sebanding denganmu ? Asal engkau tahu, aku memiliki simpanan emas dan perak yang tak dapat ditandingi siapa pun. Ambillah emas dan perak sebanyak yang engkau inginkan sebagai mahar.”
Ummu Sulaim menjawab, “Emas dan perak yang kaumiliki sama sekali tidak menarik hatiku. Satu-satunya penghalang antara aku dan engkau terdapat dalam dirimu, bukan pada hartamu.”
Sungguh Abu Thalhah tak dapat menduga maksud ucapan Ummu Sulaim yang menolak lamarannya. Maka, Abu Thalhah bertanya, “Jadi, apa sesungguhnya yang menghalangimu ? ”
Ummu Sulaim menjawab, “Kau orang musyrik, sedangkan aku muslimah. Aku tidak dapat menerimamu selama kau belum menyatakan keislamanmu. Dan aku tidak mengharapkan mahar apa pun selain keislamanmu.”
Abu Thalhah terpaku mendengar jawaban Ummu Sulaim. Ia sungguh tidak menyangkanya sedikit pun. Lama terdiam, Abu Thalhah menjawab, “Baiklah, aku akan memikirkannya lebih dahulu, nanti aku segera kembali ke sini.”
Kemudian Abu Thalhah bangkit dari tempat duduknya dan beranjak pergi. Namun, baru beberapa langkah berjalan, ia langsung membalikkan tubuh, mendekati Ummu Sulaim, dan berkata lantang, “Aku bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah.”
Maka Ummu Sulaim berkata kepada putranya, “Hai Anas, nikahkan Abu Thalhah.” Anas pun menikahkan Ummu Sulaim dengan Abu Thalhah.
Para sahabat Anshar berkomentar, “Aku belum pernah mendengar mahar yang lebih mulia dari mahar yang diajukan Ummu Sulaim, yaitu Islam.”
Abu Thalhah pun menyadari bahwa Ummu Sulaim adalah mutiara yang tentu saja nilainya lebih mahal daripada emas dan perak. Dengan mahar yang istimewa tersebut Ummu Sulaim telah membebaskan Abu Thalhah dari ancaman api neraka.
Abu Thalhah adalah seorang pemanah ulung sekaligus ksatria yang pemberani. Setelah mengikuti Baiat Aqabah kedua, ia ikut dalam pasukan jihad bersama Rasulullah. Ia ikut serta dalam Perang Badar. Ia bersemangat menghalau pasukan Quraisy dengan para pembesar mereka. Dalam perang itu banyak pemimpin Quraisy yang ditebas pedang kaum muslim. Kemudian ia juga ikut serta dalam Perang Uhud. Dalam peperangan inilah keberanian dan keperwiraannya rampil mencolok. Ia bertempur gagah berani, dan ia tidak meninggalkan medan perang ketika sebagian pasukan Muslim yang terdcsak berlari meninggalkan Rasulullah. Abu Thalhah tetap setia mendampingi dan melin - dungi Rasulullah dengan tubuhnya. Ia menjadikan tubuhnya sebagai perisai uncuk membentengi Rasulullah dari serangan musuh. Ia menghalau setiap musuh yang datang untuk menyerang Rasulullah. Ia berdiri tegap, menegakkan dadanya untuk melindungi Nabi saw. sehingga musuh tak dapat menjangkau beliau.
Abu Thalhah berkara kepada Rasulullah saw. dengan suara lantang, "Biarkan aku berkorban untukmu wahai Rasulullah. Biarlah nyawaku yang melayang asal bukan nyawaku. Demi ayah dan ibuku, wahai Rasulullah, merunduklah dan jangan tunjukkan tubuhmu agar mereka tidak dapat menjangkaumu.”
Mendengar ucapan Abu Thalhah, Rasulullah bersabda, “ Pekik suara Abu Thalhah di antara pasukan lebih baik dari 100 orang.”
Dalam Perang Hunain, ia pun turut serta bersama pasukan Muslim mendampingi Rasulullah saw. Ia berperang gagah berani dan terus berusaha melindungi Rasulullah. Dalam perang itu ia berhasil merobohkan dua puluh orang musyrik dan merampas harta mereka. Pada saat itu, istrinya yang tercinta, Ummu Sulaim berada di dekatnya menggenggam sebilah belati untuk menjaga dirinya dan melindungi Rasulullah. Seperti itulah keperwiraan Abu Thalhah dan istrinya. Ia tak pernah surut dari medan perang.
Selain dikenal pemberani, Abu Thalhah juga dermawan dan penuh kasih. Al-Allamah al-Alusi menyebutkan dalam tafsirnya Ruh al-Ma'dni ketika menjelaskan firman Allah: “ Kamu tidak akcin memperoleh kebajikan ( yang sempurna) sebehtm kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai,"7b menuturkan bahwa Anas r.a. berkara, “Abu Thalhah adalah orang Anshar yang punya banyak pohon kurma di Madinah. Dan harta yang paling disukainya adalah birha' (oase) di depan masjid. Nabi saw. sendiri pernah masuk dan minum airnya yang menyegarkan. Ketika ayat di atas turun, Abu Thalhah berkata, “Wahai Rasulullah, Allah berfirman, Kamu tidak akan memperoleh kebajikan ( yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan kekayaan yang paling aku suka adalah birha’. Karena itu, sumur itu kusedekahkan untuk Allah dan aku berharap balasan kebaikan serta simpanan di sisi Allah. Bagaimanakah menurutmu wahai Rasulullah ?
Rasulullah menjawab, “Bagus, itu adalah harta yang sangat berharga. Aku sudah mendengar ucapanmu. Menurutku, berikanlah kepada para kerabat.”
Abu Thalhah berkata, “Akan segera kulakukan, wahai Rasulullah.”
Kemudian ia membaginya untuk beberapa kerabat dan anak-anak pamannya. Dalam riwayat Muslim dan Abu Daud, Abu Thalhah juga memberikan sebagiannya kepada Hassan ibn Tsabit dan Ubay ibn Ka‘b.
Sungguh mulia engkau wahai Abu Thalhah. Sungguh mulia engkau wahai para sahabat Rasulullah. Engkau semua telah memahami Islam dengan pemahaman yang paling baik, dan kemudian menerapkannya secara sempurna. Sungguh, engkau semua tidak hanya cakap berkata-kata, tetapi juga pandai beramal dan berperilaku dengan baik. Kau semua adalah orang yang zuhud dan sangat mulia. Satu-satunya yang selalu menjadi perhatian engkau semua adalah melakukan dan menetapi apa pun yang diperintahkan Allah dan menjauhi apa pun yang dilarang-Nya. Sungguh pahala kebaikan tidak akan pernah surut melimpahi engkau semua, dan amal kebaikan engkau semua akan abadi di sisi Allah.
Diriwayatkan dari Tsabit dari Anas, bahwa Abu Thalhah membaca surah Bara’ah sampai pada ayat:
Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa rirtgan maupun berat
Abu Thalhah berkata, “Aku melihat Tuhan telah bersiap untukku sewaktu aku muda maupun saat aku beranjak tua. Maka, kalian persiapkanlah kepergianku.”
Anak-anaknya berkata, “Ayah sudah berperang bersama Rasulullah, bahkan berkali-kali, juga bersama Abu Bakr, dan juga bersama Umar. Sekarang, biarlah kami menjagamu.”
Abu Thalhah kembali berkata, “Segera persiapkan untukku.”
Mereka pun mempersiapkan segala bekal yang dibutuhkan oleh Abu Thalhah. Setelah semuanya siap, mereka berlayar dan Abu Thalhah meninggal di tengah pelayaran. Karena lama tidak menemukan daratan, jasadnya baru bisa dikuburkan pada hari ketujuh setelah kematiannya. Namun, tak ada perubahan sedikit pun pada jasadnya, tidak juga menjadi bau.
Hammad ibn Salmah menceritakan dari Tsabit dari Anas bahwa Abu Thalhah adalah orang yang paling rajin berpuasa selama empat puluh tahun78 sepeninggal Rasulullah saw. Mungkin karena itulah jasadnya tidak membusuk.
Semoga Allah memberi rahmat untuk Abu Thalhah alAnshari.