Adi ibn Hatim al-Thay seorang sahabat Nabi keturunan Bani Thay. Ayahnya adalah seorang Arab yang terkenal dermawan, Hatim al-Thay, sedangkan ibunya bernama al-Nawar. Adi juga punya seorang adik bernama Safanah. Keluarganya merupakan penganut ajaran Isa Almasih yang setia.
Adi pernah diutus menghadap Rasulullah dan ketika melihatnya, beliau bersabda, “Hai Adi ibn Hatim, kenapa kau menjauh ketika dikatakan tiada Tuhan selain Allah ? Adakah Tuhan selain Allah ? Dan mengapa kau menjauh dari Allah Mahabesar? Adakah sesuatu yang lebih besar daripada Allah ? ”
Sungguh, sebuah ungkapan indah yang keluar dari lisan seorang nabi yang mulia. Ucapan Nabi saw. itu sangat membekas di hati Adi ibn Hatim bagai embun membasahi bunga yang butuh siraman. Ia sangat tersentuh, ia tertegun dan tak beranjak dari tempatnya. Kedua kakinya seakan terpaku. Perenungan membawanya pada pengakuan iman. Dengan kesadaran penuh ia bersyahadat. Sejak itu ia menjadi umat Islam.
Apakah gerangan yang membawa Adi ibn Hatim menghadap Rasulullah ? Siapa yang mengutusnya? Bagaimana ia bisa langsung menerima seruan Islam ?
Abu Ja‘far al-Thabari nienuturkan sebuah riwayat dari Ibn Ishaq dari Syaiban ibn Sa‘d al -Thay bahwa Adi ibn Hatim pernah berkata, “Tak ada seorang Arab pun yang sangat membenci Rasulullah melebihi aku. Aku seorang Nasrani yang terpandang dan memiliki kekuasaan atas kaumku, dan menguasai seperempat ternak milik kaumku. Aku pemimpin agama yang dianggap bagaikan raja oleh kaumku. Ketika kudengar tentang Muhammad, aku sangat membencinya sehingga kukatakan kepada budak Arab yang sehari-harinya bertugas menggembala untaku, ‘Hitunglah unta-untaku yang bagus dan gemuk! Masukkan ke kandang yang tak jauh dari tempatku! Jika kaudengar pasukan Muhammad memasuki negeri ini, cepat beritahu aku!’ Budak itu melakukan apa yang kuperintah.
Pada suatu hari, budak itu datang kepadaku dan berkata, Tuan Adi, aku tak bisa melakukannya lagi jika pasukan berkuda Muhammad menyerangmu. Jadi, kusampaikan kepadamu sekarang juga, aku melihat panji-panji berkibar. Ketika ku - tanyakan, mereka menjawab, itu bendera pasukan Muhammad.’
Kemudian Adi berkata, ‘Cepat, kumpulkan unta-untaku!’ Budak itu segera melakukannya dan aku sibuk membawa keluarga serta anak-anakku. Aku kumpulkan keluarga dan kaumku, kemudian aku berkata, ‘Sebaiknya kita menyingkir ke wilayah Syam membawa seluruh pemeluk Nasrani.’ Kemudian aku dan rombongan pergi melalui jalan yang lebih aman, tetapi salah seorang saudariku, Safanah bint Hatim, tertinggal di kampung. Kami menetap di Syam selama beberapa saat.
Pasukan Muhammad datang terlambat dan mereka hanya menemui Safanah putri Hatim yang kemudian menyampaikan tujuan pelarianku. Mereka menawan Safanah dan dibawa menghadap Rasulullah saw. yang telah mengetahui kabar pelarianku ke Syam.”
Putri Hatim dan tawanan lain ditahan di dalam masjid. Ketika Rasulullah saw. melewati tempat tawanan, Safanah berdiri. Ia dikenal sebagai wanita yang fasih bicara, cerdas, dan bijak. Safanah berkata kepada Rasulullah saw., “Wahai Rasulullah, ayahku telah tiada dan tak seorang pun yang menjadi pelindung serta penjaminku. Karena itu, bebaskanlah aku. Semoga Allah memberimu karunia-Nya.
Rasulullah saw. bertanya, “Siapakah yang menjadi jaminanmu sebelum ini?
Ia menjawab, “Adi ibn Hatim.”
Rasulullah saw. berkata heran, “Adi ibn Hatim, orang yang
melarikan diri dari Allah dan Rasul-Nya itu ? ”
“ Ya.”
Rasulullah saw. berlalu dan keesokan harinya beliau datang lagi ketika Safanah benar-benar dirundung rasa gelisah dan putus asa. Seorang sahabat di belakang Rasulullah saw. memberi isyarat agar Safanah berdiri dan berbicara kepada beliau. Maka, Safanah berdiri dan berkata, “Wahai Rasulullah, ayahku telah tiada dan tak ada seorang pun yang mau menjamin diriku. Maka, bebaskanlah aku. Semoga Allah memberimu karuniaNya
Beliau bersabda, “Aku telah mengabulkan permintaanmu, tapi kuminta kau tidak terburu-buru pergi sampai kaudapatkan seseorang dari kaummu yang dapat dipercaya dan dapat membawamu kembali ke negerimu. Jika kau telah mendapatkannya, beritahu aku!”
Safanah putri Hatim berkata, “Kemudian aku bertanya tentang sahabat Nabi yang memberi isyarat kepadaku, dan seseorang menjawab bahwa lelaki itu adalah Ali ibn Abu Thalib. Setelah pertemuan itu aku kembali menetap di tempat tawanan hingga suatu hari datang rombongan dari Syam dan aku berharap bisa mengunjungi saudaraku di Sana.”
Safanah mengatakan lebih lanjut, “Aku segera menghadap Rasulullah dan kukatakan kepadanya, ‘Wahai Rasulullah, sekelompok utusan dari kaumku telah datang (menghadapmu ) dan aku menaruh kepercayaan kepada mereka.’
Rasulullah saw. memberiku pakaian dan bekal sehingga aku dapat pergi bersama rombongan menuju Syam.”
Adi menceritakan, “ Demi Allah, ketika aku duduk di antara keluargaku, tiba-tiba aku melihat kereta kuda untuk wanita bergerak mendekati tempat kami. Kemudian aku mendengar seseorang berseru, ‘Itu Safanah bint Hatim!’ Ternyata benar, itu kereta Safanah. Saat bertemu dan berhadapan denganku, Safanah berkata memakiku, ‘Dasar lalim! Kau pergi membawa keluarga dan anak-anakmu, sementara aku, saudarimu, putri ayahmu, kautinggalkan tanpa perlindungan. Sungguh kau telah merusak kehormatannui sendiri!’
Adi menjawab, ‘Hai saudariku, jangan katakan apa pun kecuali kebaikan! Demi Allah, aku tidak memiliki alasan apa pun. Aku menerima kesalahanku. Aku telah melakukan apa yang kaukatakan.’
Setelah itu Safanah bint Hatim tinggal bersamaku dan dalam sebuah kesempatan aku bertanya kepadanya, ‘Bagaimana pandanganmu tentang orang itu (Muhammad) ?’ Ia menjawab, ‘Demi Allah, kupikir sebaiknya kau segera menemui dan menghadap kepadanya. Jika benar ia seorang nabi maka orang yang bersegera menemuinya pasti akan mendapat kemuliaan. Jika ia seorang raja maka kau tidak akan terhina berada di bawah kemuliaannya!’
Aku menjawab, ‘Demi Allah, itu sungguh pemikiran yang sangat baik.’
Kemudian aku segera pergi ke Madinah menghadap Nabi Muhammad saw., yang saat itu sedang berada di masjid. Aku mengucapkan salam, tetapi beliau bertanya, ‘Siapakah engkau ?’ Aku menjawab, ‘Aku Adi ibn Hatim.’
Seketika mendengar namaku, Rasulullah saw. langsung berdiri dan mengajakku ke rumahnya. Demi Allah, ternyata beliau sengaja membawaku untuk satu tujuan. Tiba-tiba saja datang seorang wanita yang sudah renta. Wanita itu meminta beliau singgah ke tempatnya. Beliau berdiri lama sekali sambil mendengarkan wanita tua itu menceritakan keperluannya. Aku tertegun dan berkata pada diriku sendiri, ‘Demi Allah, orang ini pasti bukan seorang raja.’
Setelah itu, Rasulullah saw. pergi dan masuk ke rumahnya. Beliau mengambil bantal dari kulit yang diisi serabut dan melemparkannya kepadaku, ‘Duduklah di atas bantal itu!
Aku menjawab, ‘Tidak, sebaiknya Tuan yang duduk di atasnya.’
‘Tidak, tetapi engkaulah (yang harus duduk di atasnya ).’
Maka aku duduk di atas bantal itu sedangkan beliau duduk di atas tanah. Melihat pemandangan tersebut aku berkata pada diriku, ‘Demi Allah, itu bukanlah perilaku seorang raja.’
‘Tambahlah, hai Adi dari Hatim! Bukankah kau lelah?’
‘Benar.’
‘Bukankah kau memimpin kaummu dan menguasai seperempat ternak mereka?’
‘Benar.’
Rasul bersabda, ‘Ketahuilah, itu tidak pantas dan tidak halal kaulakukan, menurut agamamu.’
Aku menjawab, ‘Benar sekali.’ Demi Allah, saat itu aku sudah tahu bahwa ia adalah seorang nabi yang diutus yang mengetahui apa yang tersembunyi
Kemudian Rasul kembali bersabda, ‘Hai Adi ibn Hatim, mungkin yang mencegahmu masuk agama ini adalah karena mereka lemah dan tak dapat memenuhi kebutuhan mereka. Maka, demi Allah, mereka akan dapat memenuhi kebutuhan harta mereka sehingga kelak orang-orang tak mau mengambilnya meski harta itu tercecer di jalanan. Atau mungkin kau tidak mau memeluk agama ini karena melihat jumlah mereka yang sedikit sementara jumlah musuh berlipat-lipat lebih banyak. Maka, ketahuilah, kelak kau akan mendengar seorang wanita keluar dari Kadisia menuju Baitullah menunggangi untanya dan ia tidak merasa takut kepada siapa pun kecuali kepada Allah. Atau mungkin kau tidak mau memeluk agama ini karena kerajaan dan kekuasaan tidak berada di tangan mereka. Demi Allah, kau akan melihat istana-istana putih di negeri Babilonia akan dibukakan untuk mereka.’
Mendengar penuturan beliau, aku menjawab, ‘Ketahuilah, aku memeluk Islam.’”
Kelak Adi ibn Hatim mengakui bahwa ucapan Rasulullah saw. itu menjadi kenyataan. Adi ibn Hatim berkata, “Dua peristiwa (yang diramalkan Rasulullah saw.) menjadi kenyataan, tinggal yang ketiga. Demi Allah, tidak lama kemudian aku melihat kejadian yang ketiga pun kulihat menjadi kenyataan. Aku lihat istana-istana putih di negeri Babilonia dibukakan untuk umat Muhammad. Aku melihat seorang wanita berangkat keluar dari Kadisi menuju Baitullah di Makkah menunggangi unta tanpa merasa takut sedikit pun kecuali kepada Allah. Dan, demi Allah, peristiwa ketiga (yang diramalkan oleh Rasulullah saw. juga menjadi kenyataan ), kaum muslim mendapat harta yang berlimpah sehingga tak seorang pun yang mengambilnya.”
Keberangkatan Adi ibn Hatim menemui Rasulullah saw. terjadi pada 9 H. Seluruh kaumnya ikut serta memeluk Islam karena mereka memercayai Adi ibn Hatim sebagai pemimpin mereka. Keislaman Adi dan kaumnya tak lepas dari peran adiknya, Safanah bint Hatim, yang pernah berkata, ‘Demi Allah, kupikir sebaiknya kau segera menemui dan menghadap kepadanya. Jika benar ia seorang nabi maka orang yang bersegera menemuinya pasti akan mendapat kemuliaan. Jika ia seorang raja maka kau tidak akan terhina berada di bawah kemuliaannya!’ Jadi, Safanah telah menyelamatkan Adi dan kaumnya dari siksa neraka kelak di hari kiamat.
Setelah Rasulullah saw. wafat, banyak yang murtad, keluar dari Islam. Adi ibn Hatim beserta kaumnya tetap teguh memegang ajaran Islam. Bahkan, ia mengirimkan utusan yang membawa sedekah dari kaumnya kepada Khalifah Abu Bakr
Ibn al-Atsir menuturkan, Adi ibn Hatim adalah orang yang dermawan dan terpandang di kalangan kaumnya. Ia sangat dihormati baik oleh kaumnya sendiri maupun pihak lain. Diriwayatkan bahwa Adi ibn Hatim berkata, “Tidaklah masuk waktu shalat kecuali aku sangat merindukannya.” Rasulullah saw. sendiri selalu menghormatinya jika ia datang menghadap.
Ibn al-Atsir meriwayatkan dari Amir al-Sya‘bi bahwa pada masa Khalifah Umar, Adi ibn Hatim datang menghadap. Saat ia masuk, Khalifah Umar seakan-akan tidak mengenalinya, maka, Adi berkata, “Wahai Amirul Mukminin, apakah Tuan tidak mengenaliku ? ”
Khalifah Umar menjawab, “ Demi Allah, tentu aku mengenalmu. Allah telah memuliakanmu. Demi Allah, aku sangat mengenalmu. Kau masuk Islam saat mereka semua kafir, dan kau tahu jika mereka akan mengingkari. Kau memenuhi janjimu saat mereka menjauh, kau datang menghadap ( Rasulullah saw.) saat mereka menjauh.” Adi langsung berkata, “Cukup, wahai Amirul Mukminin, cukup!”
Menurut Sa‘d ibn Abu Waqash, Adi ikut dalam peperangan di Irak, Perang Kadisia dan Perang Mihran. Ia juga ikut terilbat dalam Perang al-Jisr beserta Abu Ubaid dan peristiwa-peristiwa penting lainnya.
Ketika panglima Khalid ibn al-Walid berangkat menuju Syam, ia juga bergabung dalam barisan. Ia juga mengikuti berbagai peristiwa lain. Panglima Khalid pernah mengutusnya kepada khalifah Abu Bakr dengan membawa seperlima harta rampasan perang. Setelah itu ia menetap di Kuffah.
Al-Sya‘bi menuturkan bahwa al-Asy’ats ibn Qais pernah mengutus seseorang kepada Adi ibn Hatim untuk meminjam beberapa wadah milik Hatim. Kemudian Adi mengisi wadahwadah itu dan memerintahkan beberapa orang untuk membawanya kepada al-Asy’ats. Saat mendapatkan wadah-wadah itu tidak kosong, al-Asy’ats menyampaikan pesan, “Kami ingin meminjamnya dalam keadaan kosong.”
Adi ibn Hatim menjawab, “Dan kami tak pernah meminjamkannya dalam keadaan kosong.”
Adi ibn Hatim sering memberikan remah-remah roti kepada semut, dan ia pernah berkata, “Mereka (semut-semut) itu juga tetangga ( kita ) dan mereka juga punya hak.”
Ketika membebaskan Safanah bint Hatim, Rasulullah saw. bersabda kepada para sahabat, “ Bebaskan dia! Ayahnya sangat menyukai kemuliaan akhlak.” Bukankah Rasulullah saw. sendiri datang untuk menyempurnakan ahklak ?
Saat terjadi perang antara Ali dan Muawiyah, Adi ibn Hatim ikut dalam barisan Ali. Ia wafat di Kuffah dalam usia 120 tahun. Semoga Allah merahmarinya.